Rabu, 20 Januari 2016

Materi Fiqih Kelas XI



BAB  I
MEMBINA KELUARGA (MUNAKAHAT /  PERNIKAHAN)

1.    Jelaskan pengertian dan hukum pernikahan ?
Pengertian pernikahan
1)   Kata Nikah (نِكَاحُ)  atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (زَوْج). Nikah artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seseorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
2)   Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara dua orang laki-laki  dan perempaun, untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga untuk mendapatkan keturunan yang dilaksanakan  menurut ketentuan syariat Islam.
3)   Pergaulan antara laki-laki dan perempuan itu menjadi syah/halal jika sudah terikat tali ikatan perkawinan. Tanpa adanya perkawinan, tidak akan pernah ada proses saling melengkapi dalam kehidupan ini antara laki-laki dan perempuan.

Pengertian dan hukum pernikahan
Menurut jumhur ulama menetapkan bahwa hukum perkawinan dibagi menjadi limamacam yaitu : Asal hukum pernikahan adalah
1)   Hukum Sunah.Artinya seseorang yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan rohani dan sudah mempunyai bekal untuk menikah, tetapi tidak takut terjerumus dalam perbuatan zina.
Firman Allah (QS. An Nur /24 :32) :
  
32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
[1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Sabda Rasulullah :
Artinya : “Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, maka kawinlah,. Sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan, dan barangsiapa tidak kuasa hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya (HR. Bukhari dan muslim)
2)   Hukum mubah (boleh), yaitu bagi orang yang tidak mempunyai pendorong atau faktor yang melarang untuk menikah.
3)   Hukum wajib, jika seseorang yang dilihat dari pertumbuhan jasmaniyah sudah layak untuk menikah, kedewasaan rohaniyahnya sudah matang dan memiliki biaya untuk menikah serta untuk menghidupi keluarganya dan bila ia tidak menikah khawatir terjatuh pada perbuatan mesum (zina).
4)   Hukum Makruh hukumnya bagi seseorang yang dipandang dari pertumbuhan jasmaniyahnya sudah layak, kedewasaan rohaniyahnya sudah matang tetapi tidak mempunyai biaya untuk bekal hidup beserta isteri kemudian anaknya. Untuk mengendalikan nafsunya dianjurkan untuk menjalankan puasa.
5)   Hukum Haram hukumnya bagi seseorang yang menikahi wanita dengan tujuan untuk menyakiti, mempermainkan dan memeras hartanya.

2.    Sebutkan syarat dan rukun nikah ?
Syarat nikah :
1)   Calon suami syaratnya menurut ketentuan syari’at Islam adalah : beragama Islam, jelas bahwa ia laki-laki, atas keinginan dan pilihan sendiri (tidak terkena paksaan), tidak beristri empat (termasuk istri yang telah dicerai tetapi dalam  masa iddah / waktu tunggu), tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon isteri,  tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isterinya, mengetahui bahwa calon isteri itu tidak haram baginya dan tidak sedang berihram haji atau umrah.
2)   Calon istri  yang akan dinikahi syaratnya adalah :beragama Islam, jelas bahwa ia seorang perempuan, telah mendapat ijin dari walinya, tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah, tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suami, belum pernah di li’an (dituduh zina) oleh calon suaminya, jika ia perempuan janda, harus atas kemauan sendiri, bukan karena dipaksa oleh siapapun, jelas ada orangnya dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
3)   Wali, syaratnya : laki-laki, beragama Islam, sudah baligh, berakal, merdeka (bukan budak), adil dan tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah.
4)   Dua orang saksi, syaratnya : dua orang laki-laki, beragama islam, baligh, berakal, merdeka dan adil, bisa melihat dan mendengar, memahami bahasa yang digunkan dalam akad, tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah dan hadir dalam ijab qabul.
5)   Ijab dan qabul. Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak permpuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada  pihak pengantin laki-laki. Sedangkan qabul yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan.Adapaun syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :
(1)   Menggunakan kata yang bermakna menikah ( النَّكَاحُ) atau mengawinkan baik bahasa Arab ataupun padanan kata itu dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah sang pengantin.
(2)   Lafadz ijab qabul diucapkan pelaku akad nikah
(3)   Antara ijab dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan lain.
(4)   Pelaksanaan ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun
(5)   Tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

Rukun nikah :
Adapun rukun nikah ada lima macam, yaitu : calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan ijab qabul.

3.    Jelaskan pengertian dan hukum khitbah ?
Pengertian khitbah
Khitbah/pingangan yaitu melamar untuk menyatakan permintaan atau ajakan untuk mengikat perjodohan, dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai calon isterinya.
Pengertian dan hukum khitbah
Lamaran atau pinanangan bukan sesuatu yang menjadi wajib hukumnya. Hal ini menurut pendapat jumhur ulama’ yang didasarkan pada pinangan nikah yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw. Tetapi Dawud berpendapat bahwa pinangan hukumnya wajib.
Dalil yang membolehkan pinangan sebagaimana firmanAllah SWT  :

  
Artinya : “Dan tak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau harus menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu … “(QS. Al Baqarah /2: 235)

4.    Jelaskan pengertian dan pembagian mahram nikah ?
Pengertian mahram nikah :
1)   Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
2)   Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda,
3)   Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
(1)     Kebolehan berkhalwat (berduaan)
(2)     Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
(3)     Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
Ayat-ayat Tentang Kemahraman Di Dalam Al-Quran :
1)   Daftar mahram menurut (QS. An-Nisa : 23) : Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah :
(1)     Ibu kandung
Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian tertentu dari auratnya di hadapan anak-anak kandungnya.
(2)     Anak-anakmu yang perempuan
Jadi wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan ayah kandungnya.
(3)     Saudara-saudaramu yang perempuan,
Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan saudara laki-lakinya.
(4)     Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara laki-lakinya. Dalam bahasa kita berarti keponakan.
(5)     Saudara-saudara ibumu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara wanitanya. Dalam bahasa kita juga berarti keponakan.
(6)     Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ayah.
(7)     Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ibu.
(8)     Ibu-ibumu yang menyusui kamu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan seorang laki-laki yang dahulu pernah disusuinya, dalam hal ini disebut anak susuan.
(9)     Saudara perempuan sepersusuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang dahulu pernah pernah menyusu pada wanita yang sama, meski wanita itu bukan ibu kandung masing-masing. Dalam hal ini disebut saudara sesusuan.
(10) Ibu-ibu isterimu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami dari anak wanitanya. Dalam bahasa kita, dia adalah menantu laki-laki.
(11) Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami ibunya (ayah tiri) tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu sudah bercampur dengan ibunya.
(12) Isteri-isteri anak kandungmu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi ayah dari suaminya. Dalam bahasa kita adalah mertua laki-laki.

2)   Daftar mahram menurut (QS An-Nuur : 31) : Dari Ayat ini juga berbicara tentang siapa saja orang yang boleh melihat sebagian aurat wanita yang dalam hal ini juga berstatus sebagai mahram. Orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini ada yang sudah disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 23 dan ada pula yang belum. Yang sudah disesutkan antara lain adalah ayah, anak, saudara laki-laki dan anak saudara laki-laki. Selebihnya belum disinggung.  Mereka adalah :
(1)     Suami
Bahkan seorang wanita bukan hanya boleh terlihat sebagian auratnya tetapi seluruh auratnya halal bila terlihat.
(2)     Ayah
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan ayahnya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [2]
(3)     Ayah suami
Dalam bahasa kita adalah mertua. Yaitu ayahnya suami seorang wanita.
(4)     Putera atau anak
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anaknya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [2]
(5)     Putera-putera suami
Dalam bahasa kita maksudnya adalah anak tiri, dimana seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang statusnya anak tiri. 6. Saudara-saudara laki-laki. Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan saudara laki-lakinya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [3]
(6)     putera-putera saudara lelaki
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan putera saudara laki-lakinya (keponankan) telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [4]
(7)     Putera-putera saudara perempuan
Dalam bahasa kita maksudnya adalah keponakan dari kakak atau adik wanita.
(8)     Wanita-wanita Islam
Jadi bila sesama wanita yang muslimah, seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya, Tetapi tidak boleh terlihar seluruhnya. Karena satu-satunya yang boleh melihat seluruh aurat hanya satu orang saja yaitu orang yang menjadi suami. Sedangkan sesama wanita tetap tidak boleh terlihat seluruh aurat kecuali ada pertimbangan darurat seperti untuk penyembuhan secara medis yang memang tidak ada jalan lain kecuali harus melihat. Adapun wanita yang statusnya bukan Islam seperti Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu atau ateis, maka seorang wanita musimah diharamkan terlihat auratnya meski hanya sebagian. Karena itu buat para wanita muslimah yang tinggal bersama di sebuah asrama atau di rumah kost, pastikan bahwa wanita yang tinggal bersama anda muslimah semuanya. Karena kalau ada yang bukan muslimah, anda tetap diwajibkan menutup aurat seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sebagaimana di depan laki-laki non mahram. Begitu juga bila masuk ke kolam renang khusus wanita, pastikan bahwa semua pengunjungnya adalah wanita dan agamanya harus Islam.
(9)     Budak-budak yang mereka miliki
Di masa perbudakan, seorang wanita masih dibolehkan terlihat auratnya di hadapan budak yang dimilikinya. Tapi di masa kini, sopir dan pembantu sama sekali tidak bisa dianggap sebagai budak, karena mereka adalah orang merdeka.
(10) Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
Yang dimaksud adalah pelayan atau pembantu yang sama sekali sudah mati nafsu birahi baik secara alami atau karena dioperasi. Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa ada perbedaan pendapat dalam memahami maksud ayat in dalam beberapa makna :
(11) Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
-       Mereka adala orang yang bodoh/pandir yang tidak memiliki hasrat terhadap wanita.
-       Mereka adalah orang yang mengabdikan hidupnya pada suatu kaum (harim) yang tidak memiliki hasrat terhadap wanita.
-       Mereka adalah orang yang impoten total.
-       Mereka adalah orang yang dipotong kemaluannya,
-       Mereka adalah orang yang waria yang tidak punya hasrat kepada wanita.
-       Mereka adalah orang yang tua renta yang telah hilang nafsunya

Pembagian mahram nikah :
Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para ulama membaginya menjadi tiga klasifikasi besar :
1. Mahram Karena Nasab
-    Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
-    Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
-    Saudara kandung wanita.
-    Ammat / Bibi (saudara wanita ayah).
-    Khaalaat / Bibi (saudara wanita ibu).
-    Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki.
-    Banatul Ukht / anak wnaita dari saudara wanita.
2. Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan
-    Ibu dari istri (mertua wanita).
-    Anak wanita dari istri (anak tiri).
-    Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan).
-    Istri dari ayah (ibu tiri).
3. Mahram Karena Penyusuan
-    Ibu yang menyusui.
-    Ibu dari wanita yang menyusui (nenek).
-    Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).
-    Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).
-    Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
-    Saudara wanita dari ibu yang menyusui.

Penjelasan mahram nikah :
Mahram adalah seseorang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi. Adapaun sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh seseorang laki-laki dapat dabagi menjadi dua yaitu  haram dinikahi untuk selamanya dan haram dinikahi yang bersifat sementara, sebagaimana pembahasan berikut di bawah ini.
1)  Sebab haram dinikah untuk selamanya, dibagi menjadi empat macam yaitu haram sebab nasab, sebab pertalian nikah, sebab sepersusuan dan wanita yang telah dili’an. Adapun pembahasannya sebagai berikut :
(1)   Wanita-wanita yang haram dinikahi karena nashab. Mereka adalah sebagai berikut : Ibu, Nenek, Anak perempuan, Anak perempuan dari anak laki-laki, Saudara perempuan,Bibi dari jalur ayah, Bibi dari jalur ibu, Anak perempuannya saudara laki-laki, Anak perempuannya anak laki-laki.

“Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, naka-anak  perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, (bibi jalur ayah), saudara-saudara permpuan ibu kalian (bibi daru jalur ibu) anak-anak perempuannya saudara-saudara laki-laki kalian, anak-anak perempuannya saudara perempuan kalian “ (Q.S. An Nisa /4: 23)
(2)   Wanita-wanita yang haram dinikahi sebab pertalian nikah, mereka adalah sebagai berikut : Isteri ayah dan Istri kakek.  Allah SWT berfirman :
 “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”(QS. An Nisa/4 : 22)
Kemudian Ibu Istri (ibu mertua) dan nenek ibu istri, Anak perempuan istri (anak perempuan tiri).  Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu (QS.An Nisa/4: 22).
(3)   Wanita-wanita yang haram dinikahi karena sepersusuan. Mereka adalah sebagai berikut : Ibu-ibu yang diharamkan dinikahi karena sebab nashab, Anak-anak perempuan, Saudara-saudara perempuan,  bibi dari jalur ayah,  bibi dari jalur ibu, Anak perempuannya saudara laki-laki dan Anak perempuannya saudara perempuan.
(4)   Wanita yang telah di li’an
Suami haram menikahi wanita yang telah dili’annya untuk selama-lamanya, karena Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “ Suami Isteri yang telah melaknat, jika keduanya telah cerai maka tidak boleh menikahi lagi selama-lamanya”  (HR. Abu Dawud)
2)   Sebab Haram dinikah sementara
Haram dinikahi sementara maksudnya adalah seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh seorang laki-laki dalam waktu tertentu. Bila sebab itu tidak ada lagi perempuan tersebut boleh dinikahi, sebab-sebab tersebut dibagi menjadi lima macam  yaitu ; sebab pertalian nikah, thlaq bain kubra, memadu dua orang bersaudara, beristri lebih dari empat orang dan berbeda agama.
(1)   Sebab Pertalian Nikah
Perempuan yang masih ada dalam ikatan perkawinan, haram dinikah dengan laki-laki lain, termasuk perempuan yang masih ada dalam massa idah baik iddah talak maupun iddah wafat : Allah SWT berfirman :

Artinya : “Janganlah kamu bertekad untuk melangsungkan akad nikah dengan perempuandalam iddah wafat sebelum iddahnya habis”. (QS. Al Baqarah/4 : 235)
(2)   Sebab Thalaq Bain Kubra (perceraian sudah  tiga kali) 
Thalaq bain kubra adalah thalaq tiga. Sorang laki-laki yang mencerai isteri dengan thalaq tiga, haram baginya untuk menikah dengan mantan isterinya itu selama mantan isteri itu belum kawin dengan laki-laki lain. Jelasnya ia boleh menikah lagi dengan mantan isterinnya dengan syarat mantan istri itu : telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru),dicampuri oleh suami baru , telah dicerai suami baru, dan habis masa iddah.
Allah berfirman :
“Selanjutnya jika suami mencerainya (untuk ketiga kalinya), perempuan tidak boleh dinikahi lagi olehnya sehingga ia menikah lagi dengan  suami lain. Jika suami yang baru telah mencerainya, tidak apa-apa mereka (mantan suami isteri) menikah lagi jika keduanya optimis melaksanakan hak masing-masing sebagaimana ditetapkan oleh Allah SWT (Al- Baqarah/2 : 230)
(3)   Sebab memadu dua orang perempuan bersaudara.
Seorang laki-laki yang mempunyai pertalian nikah dengan seorang perempuan (termasuk dalam masa iddah talak raj’i) haram baginya menikah dengan :
a)  Saudara perempuan isterinya, baik kandung seayah maupun seibu
b)  Saudara perempuan ibu isterinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu dengan ibu isterinya.
c)  Saudara perempuan bapak isterinya (bibi isterinya) baik kandung seayah atupun seibu dengan bapak isterinya.
d)  Anak perempuan saudara permpuan isterinya (kemenakan isterinya) baik kandung seayah maupun seibu
e)  Anak perempuan saudara laki-laki isterinya baik kandung seayah maupun seibu
f)          Semua perempuan yang bertalian susuan dengan isterinya Allah SWT berfirman:
Diharamkan bagimu memadu dua orang  permpuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (QS. An Nisa/4 : 23)
(4)   Sebab beristri  lebih dari empat orang.
Seorang laki-laki yang beristri lebih dari empat orang, haram lagi menikah dengan perempuan yang kelima. Seorang laki-laki boleh memperistri perempuan maksimal empat. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT. dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ : 3
(5)   Sebab Perbedaan Agama
Mahram nikah karena perbedaan agama, ada dua macam  yaitu perempuan musyrik haram dinikahi laki-laki muslim dan perempuan muslimah haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu orang musyrik atau penganut agama selain islam.

5.    Jelaskan macam-macam pernikahan terlarang ?
Macam-macam pernikahan terlarang :
Nikah terlarang maksudnya pernikahan yang tidak diperbolehkan dalam agama Islam, karena sesuatu sebab yang lain atau perbuatan tersebut bukan merupakan ajaran Islam.Adapun macam-macam pernikahan yang dilarang dalam agama Islam adalah :
1)   Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara waktu. Nikah tersebut dilarang karena dilakukan untuk waktu yang terbatas dan tujuannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang disyari’atkan. Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Nabi Muhammaad SAW tetapi kemudian dilarang untuk selamanya.
Dari Salah bin Al Akwa ra ia berkata“Pernah Rasulullah SAW. membolehkan perkawinan mut’ah pada hari peperangan Authas selama tiga hari. Kemudian sesudah itu ia dilarang.” ( H.R. Muslim )
2)   Nikah Syighar (kawin tukar)
Nikah sighar ialah wali bagi seorang perempuan menikahkan yang ia walikan kepada laki-laki lain tanpa mas kawin, dengan pernjanjian bahwa laki-laki itu akan memberikan imbalan, yaitu mau mengawinkan wanita di bawah perwaliannya. Misalnya Amir menikahkan anaknya bernama Fatimah dengan Imran tanpa mahar harta benda, dengan perjanjian Imran mau menikahkan wanita dibawah perwaliannya kepada si Amir tanpa mahar. Yang dijadikan mahar adalah kemaluan masing-masing dari kedua wali tersebut. Malik berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak disyahkan selamanya, dan harus dibatalkan, baik sesudah atau sebelum terjadi pergaulan ( dukhul ).

Artinya : “Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW melarang syighar dalam akad pernikahan. Syighar ialah mengawinkan seseorang dengan anak perempuannya akan tetapi dalam pertunangan kedua mempelai tidak disertai dengan mas kawin” (HR. Bukahri muslim)
3)   Nikah Muhallil ( Nikah untuk menghalalkan )
Nikah muhallil ialah nikah yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk menghalalkan perempuan yang dinikahinya bagi bekas suaminya yang telah menthalaq tiga, untuk kawin lagi. Nikah tersebut dilarang karena tujuannya tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang sebenarnya. Perempuan yang telah dithalak tiga, tidak boleh kawin lagi dengan bekas suaminya yang telah menthalak tiga itu, kecuali kalau perempuan tersebut sudah kawin dengan laki-laki lain, bukan untuk tujuan menghalalkan dinikahi oleh bekas suaminya yang pertama, telah dicampuri, dicerai oleh suami yang kedua dan baru boleh dinikah kembali.
Diantara dalil yang melarang nikah muhallil :
“Dari Ibnu Mas’ud RA. Berkata : telah mengutuki Rasulullah SAW. terhadap orang yang laki-laki yang menghalalkan dan yang dihalalkan “ ( H.R. Tirmidzi dan Nasa’i )
4)   Muhallil adalah laki-laki yang menikahi perempuan dengan maksud menghalal-kan perempuan itu bekas suaminya yang telah menthalak tiga, untuk kawin lagi. Muhallahu adalah bekas suami yang telah menthalak tiga itu.
5)   Nikah beda Agama
Maksudnya adalah laki-laki muslim dilarang menikahi perempuan non muslim atau sebaliknya wanita muslimah dilarang dinikahi laki-laki non muslim. Sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an:                                                                             
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム....4 ÇËËÊÈ  
Artinya : “Jangan nikah perempuan-perempuan musyrik (kafir) sehingga mereka beriman, sesunguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menarik hatimu (karena kecantikannya) janganlah kamu nikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik sehingga ia beriman.” (QS. AL Baqarah/2 : 221) .

6.    Sebutkan ketentuan dan macam-macam wali ?
Ketentuan dan macam-macam wali :
a.    Macam Tingkatan Wali
Wali nikah terbagi mnjadi dua macam yaitu  wali nashab dan wali hakim.
1)   Wali nashab adalah wali dari pihak kerabat, artinya wali yang mempunyai pertalian darah atau keturunan dengan perempuan yang akan dinikahkannya. Wali nasab ditinjau dari dekat dan jauhnya dengan mempelai wanita dibagi menjadi dua, yaitu
(1)     wali akrab ( lebih dekat hubungannya dengan mempelai perempuan ) dan
(2)     wali ab’ad ( wali yang lebih jauh hubungannya dengan mempelai perempuan ).
Di bawah ini susunan wali nasab sebagai berikut :
1)    Ayah
2)    Kakek dari pihak bapak
3)            Saudara laki-laki kandung
4)    Saudara laki-laki sebapak
5)    Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
6)            Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
7)            Paman (saudara bapak) sekandung
8)    Paman (saudara bapak) sebapak
9)    Anak laki-laki dan paman kandung
10)          Anak laki-laki dari paman laki-laki
11)          Hakim

2)   Wali hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dengan sebab tertentu pula. Dengan kata lain wali hakim ialah pejabat negara yang beragama Islam dan dalam hal ini biasanya kekuasaanya di Indonesia dilakukan oleh Kepala Pengadilan Agama, ia dapat mengangkat orang lain menjadi hakim (biasanya yang diangkat Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan) untuk mengakadkan nikah perempuan yang berwali hakim. Sebagaimana sabda Rasulullah :

Artinya : “Dari ‘Aisyah ra. ia berkata : “Rasulullah SAW bersabda, siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seijin walinya maka batallah pernikahannya, dan jika ia  telah disetubuhi, maka bagi perempuan itu berhak menerima mas kawin lantaran ia telah menghalalkannya kemaluannya, dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka sultanlah yang menjadi wali bagi yang tidak mempunyai wali (HR. Imam yang empat kecuali Nasa’i)

Adapun sebab-sebab berpindahnya wewenang wali nasab kepada wali hakim, adalah apabila wali nasab:
1)  Tidak ada wali nashab
2)  Tidak cukup syarat wali bagi yang lebih dekat dan wali yang lebih jauh tidak ada
3)  Wali yang lebih dekat ghaib
4)  Wali yang lebih dekat sedang melakukan ihram / ibadah haji
5)  Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai
6)  Wali yang lebih dekat adal menikahkan, yaitu tidak mau menikahkan
7)  Wali yang lebih dekat tawari, yaitu sembunyi-sembunyi karena tidak mau menikahkan
8)  Wali yang lebih dekat ta’azzuz, yaitu bertahan, tidak mau menikahkan
9)  Wali yang lebih dekat mufqud, yaitu hilang tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula hidup dan matinya. 



b.  Wali Mujbir
Di samping ada wali nasab dan wali hakim masih ada wali mujbir yaitu wali yang berhak menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh, berakal dari gadis untuk dinikahkan, dengan tiada meminta ijin terlebih dahulu kepada anak perempuan tersebut. Dalam hal ini hanya bapak dan kakek yang dapat menjadi wali mujbir.
Kebolehan bapak dan kakek menikahkan anak perempauannya tanpa minta ijin terlebih dahulu padanya adalah dengan syarat-syarat :
1)   Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut
2)   Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya
3)   Calon suami itu mampu membayar mas kawin
4)   Calon suami tidak cacat.

c.  Wali Adhal
Wali adhal ialah wali yang tidak mau menikahkan anaknya, karena alasan-alasan tertentu yang menurut walinya itu tidak disetujui adanya pernikahan anaknya atau cucunya dengan calon suami karena tidak sesuai dengan kehendak walinya, padahal wanita yang hendak menikah itu berakal sehat dan calon suami juga dalam keadaan sekufu. Apabila terjadi hal seperti tersebut diatas, maka perwalian itu pindah langsung pada wali hakim, sebab adhal itu zalim sedang yang dapat menghilangkan kezaliman adalah hakim.

Artinya : “Kalau (wali-wali itu) enggan (menikahkan) maka hakim menjadi wali perempuan yang tidak mempunyai wali”
(HR. Abu Daud, Turnmudzi dan Ibnu Hiban).

Apabila adhalnya sampai tiga kali, maka perwaliannya pindah pada wali ab’ad bukan wali hakim. Kalau adhalnya itu karena sebab yang logis menurut  hukum Islam, maka tidak disebut adhal seperti : wanita itu nikah dengan pria yang tidak sekufu, maharnya di bawah mahar misil dan wanita itu dipinang oleh laki-laki yang lebih pantas daripada pinangan pertama itu.

7.    Jelaskan hukum dan macam-macam mahar ?
Pengertian dan hukum mahar
1)   Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada isteri sebab pernikahan. Bisa berupa uang, benda, perhiasan, atau jasa seperti mengajar Al Qur’an.
2)   Membayar mahar hukumnya wajib bagi laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan, karena termasuk syarat nikah, tetapi menyebutkannya dalam akad nikah hukumnya sunat. Dan makruh tidak menyebut mas kawin diwaktu akad nikah.
Mahar hukumnya wajib, sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya : “Bayarkanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian hibah/tanda cinta (QS. An Nisa4: 4)

Macam-macam mahar ada dua, yaitu :
1)   Mashar Musamma yaitu mahar yang disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad nikah berlangsung
2)   Mahar Mitsil yaitu mahar yang jenis atau kadarnya diukur sepadan dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat dengan melihat status sosial, umur, kecantikan, gadis atau janda. Untuk mengukur mahar mitsil seorang wanita, maka yang dilihat dahulu adalah mahar saudara perempuan seibu sebapak, lalu saudara perempuan seayah, lalu anak perempuan saudara lelaki, lalu bibi dari pihak ayahnya dan seterusnya. Mitsil artinya sama. Kalau mahar saudara perempuan seayah seibu dulu waktu nikah, maharnya 50 gram emas, maka mahar mitsil perempuan yang nikah juga sama 50 gram emas. 

8.    Jelaskan hukum walimah dan hikmahnya ?
Pengertian walimah :
1)   Walimah berasal dari kata walm yang artinya ikatan atau pertemuan.
2)   Walimah dalam bahasa arab disebut walimatul ‘Urs atau pesta pernikahan adalah pesta yang diselenggarakan setelah akad nikah dengan menghidangkan jamuan kepada para undangan, sebagai pernyataan rasa syukur atas nikmat dan karunia Allah SWT. Pesta pernikahan disebut walimah karena diadakan sehubungan dengan terjadinya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan.
Hukum walimah :
1)   Hukum menyelenggarakan Walimah ‘Urs
Jumhur ulama berpendapat bahwa mengadakan walimah ‘urs hukumnya sunah muakad, berdasarkan sabda Rasulullah :
“Rasulullah SAW. Bersabda kepada Abdurrahman bin auf : “ Adakanlah pesta walaupun hanya memotong seekor kambing“ ( H.R. Mutafaqun ‘Alaihi )
Di samping walimah ‘urs terdapat berbagai macam walimah terkait dengan suatu peristiwa atau kegiatan seperti
(1)     walimah aqiqah yaitu walimah karena kelahiran anak,
(2)     walimah wakirah yaitu walimah untuk mendirikan bangunan,
(3)     walimah I’dzar yaitu walimah karena khitan,
(4)     walimah naqi’ah yaitu walimah karena pulang dari bepergian dan sebagainya.

Menyelengarakan walimah adalah sangat penting, walaupun diadakan dengan sederhana.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan walimah yaitu niat syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan oleh-NYA, jangan berlebih-lebihan atau tidak memaksakan diri serta harus disesuaikan dengan keadaan, jangan membeda-bedakan antara orang kaya dan miskin.
2)   Hukum menghadiri Walimah
Hukum menghadiri walimah adalah wajib, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Rasulullah SAW bnersabda : Jika salah seorang d antaramu diundang untuk menghadiri suatu pesta, hendaklah ia menghadirinya “ ( Mutafaqun ‘Alaihi ).
Oleh karena menghadiri walimatul ‘urs wajib, maka meninggalkannya adalah berdosa. Hal tersebut berdasarkan Sabda Rasulullah SAW. :
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda : “Barang siapa yang meninggalkan undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya ( Mutafaqun ‘Alaihi )

Hikmah  Walimah :
1)  Menyiarkan pernikahan karena sunah hukumnya dan berusaha menghindari nikah sirri ( rahasia )
2)  Mengungkapkan rasa gembira dalam menikmati kebaikan.
3)  Agar pernikahan diketahui oleh orang banyak.
4)  Memberikan rangsangan segera menikah kepada orang yang suka membujang.

9.    Jelaskan hikmah pernikahan ?
Hikmah pernikahan :
Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
1)  Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan.
2)  Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
3)  Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
4)  Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.

Allah SWT berfirman :
  
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ”(Ar-ruum,21)




KETENTUAN PERNIKAHAN DALAM PERUNDANGAN

1.    Jelaskan tentang batasan umur pernikahan ?
Batasan umur pernikahan :
Dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan yang tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.
Syarat-syarat perkawinan (pasal 6)
Menurut ayat (1)
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai artinya, kedua mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai juga dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Menurut ayat (2)
Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin kedua orang tua.
Menurut ayat (6)
Ketentuan menurut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika ada penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) ini, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita (pasal 7 ayat 2).

2.    Jelaskan tentang kedudukan pencatatan pernikahan ?
Kedudukan pencatatan pernikahan :
Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Landasan hukum keharusan adanya pencatatan perkawinan ini disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 pasal 2:
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975:
pasal 2 ayat (1):
“Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk”.
Pasal 11 ayat (3):
“Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi”
Pasal 13 ayat (2)
“Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan”.
Sementara Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan keharusan pencatatan perkawinan ini pada:
Pasal 5 ayat (1):
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
Pasal 5 ayat (2):
“Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954.”
Pasal 6:
(1) Untuk memenuhi ketentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 ayat (1):
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”
Dari beberapa ketentuan yang menjelaskan tentang kedudukan pencatatan perkawinan di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi pencatatan perkawinan dari segi hukum sudah sangat kuat sekali. Secara tegas dalam pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

3.    Jelaskan hukum talaq di depan pengadilan agama ?
Hukum talaq di depan pengadilan agama :
Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI
Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yang berbunyi:
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”
Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama.

HUKUM PERCERAIAN (TALAQ)

1.    Jelaskan pengertian dan hukum perceraian (talaq) ?
Pengertian perceraian (talaq) :
Thalaq berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata thalaqa-yuthliqu-thalaqan yang semakna dengan kata thaliq yang bermakna al irsal atau tarku, yang berarti melepaskan dan meninggalkan
Talaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.
Hukum perceraian (talaq) :
Menurut Imam Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa thalaq adalah terlarang, kecuali karena alasan yang benar. Sedangkan, golongan Hambaliyah berpendapat bahwa thalaq hukumnya beragam: bisa wajib, sunnah, makruh, haram, mubah.. Thalaq dibolehkan apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku isterinya, atau sudah tidak lagi mencintai istrinya.
Rinciannya sbb:
1)   Talak itu hukumnya wajib bila :
(1)   Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
(2)   Dua orang wakil daripada pihak suami dan isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
(3)   Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa talak adalah lebih baik
Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami

2)  Talak itu hukumnya haram bila :
(1)   Menceraikan isteri ketika sedang haid atau nifas
(2)   Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
(3)   Ketika suami sedang sakit yang bertujuan menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya
(4)   Menceraikan isterinya dengan talak tiga sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali atau lebih
3)  Talak itu hukumnya sunnah bila :
(1)   Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
(2)   Isterinya tidak menjaga martabat dirinya
4)  Talak itu hukumnya makruh bila :
Suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang baik, berakhlak mulia dan mempunyai pengetahuan agama
5)  Talak itu hukumnya mubah bila :
Suami lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus haidnya

2.    Sebutkan syarat dan rukun talaq ?
Syarat talaq :
1)   Benar-benar suami yang sah. Yaitu keduanya berada dalam ikatan pernikahan yang sah.
2)   Telah Baligh. Tidak dibenarkan jika yang menthalaq adalah anak-anak.
3)   Berakal sehat yaitu tidak gila.
4)   Orang yang menjatuhkan thalaq harus dengan ikhtiar Tidak sah menjatuhkan thalaq tanpa ikhtiar dan karena terlanjur dalam lisan
5)   Orang yang menjatuhkan thalaq harus orang yang pintar, mengerti makna dari bahasa thalaq. Tidak sah orang yang tidak mengerti arti thalaq.
6)   Orang yang menjatuhkan thalaq tidak boleh dipaksa tidak sah menjatuhkan thalaq dengan dipaksa.

Rukun talaq :
1)   Suami, jika selain suami tidak boleh menthalaq
2)   Isteri, orang yang dilindungi oleh suami dan akan dithalaq.
3)   Lafazh yang ditujukan untuk menthalaq, baik itu diucapkan secara langsung maupun dilakukan dengan sindiran dengan disertai niat.

3.    Sebutkan macam-macam talaq ?
Macam-macam talaq :
Dari segi cara suami menjatuhkan
1)   Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, talak dibagi menjadi 2, yaitu:
(1) Talak Sunni: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan selainnya.
(2) Talak Bid'i: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar'i.
2)   Dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak dibagi menjadi dua, yaitu talak raj'i dan talak ba'in.
(1) Talak Raj'i: Talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya (talak 1 dan 2) yang belum habis masa iddahnya. Dalam hal ini suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama masa iddah istri belum habis.
(2) Talak Ba'in: Talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya. Dalam hal ini, talak ba'in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra.
Penjelasan :
1)   Talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru.
2)   Talak ba'in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar. oleh karena itu nikah seseorang dengan mantan istri orang lain dengan maksud agar mereka bisa menikah kembali (muhallil) maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW. dalam salah satu haditsnya.
* Talak dua: pernyataan talak yang dijatuhkan sebanyak dua kali dan memungkinkan suami rujuk dengan istri sebelum selesai masa iddah
* Talak tiga: pernyataan talak yang bersifat final. Suami dan istri tidak boleh rujuk lagi, kecuali sang istri pernah dikawini oleh orang lain lalu diceraikan olehnya.

4.    Jelaskan pengertian khuluk dan fasakh ?
Pengertian Fasakh
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
1)  Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
2)  Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
3)  Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau
4)  Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

Pengertian Khulu’
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229 :

229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Efek Hukum dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun Khulu’ adalah talak ba'in shughra (talak ba'in kecil).
1)      Efek hukum yang ditimbulkan oleh fasakh dan khulu’ adalah talak ba'in sughra, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.

5.    Jelaskan pengertian dan macam-macam iddah ?
Pengertian iddah
1)   Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau karena gugat cerai oleh istri.
2)   Dalam masa iddah, seorang perempuan yang dicerai tidak boleh menikah dengan dengan siapapun sampai masa iddahnya habis atau selesai.
3)   Bagi istri yang ditalak raj'i (talak satu atau talak dua) maka suami boleh kembali ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah baru.
4)   Sedangkan apabila suami ingin rujuk setelah masa iddah habis, maka harus ada akad nikah yang baru.


Macam-macam iddah
1)   Perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri (hubungan intim) atau belum (QS Al-Baqarah 2:234).
2)   Istri yang dicerai saat sedang hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan (QS At-Talaq 65:4).
3)   Istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan masih haid secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haid yang sempurna(QS Al-Baqarah 2:228).
4)   Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haid), maka iddahnya adalah tiga bulan (At-Thalaq 65:4).
5)   Wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu’ atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri selama satu kali haid.
6)   Wanita yang dicerai-talak sebelum ada hubungan intim, maka tidak ada masa iddah.

6.    Jelaskan hikmah perceraian, talaq, khuluk dan fasakh ?
Hikmah perceraian, talaq, khuluk dan fasakh :
1)   Sarana untuk memilih pasangan hidup lebih baik & harmonis
2)   Bentuk pengakuan islam akan realitas kehidupan & kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan berganti
3)      Salah satu obat sakit mental
4)   Menghindari suami yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik
5)   Memberi kebebasan untuk memilih sejauh yang dibolehkan oleh agama
6)   Menghindarkan diri dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh suami/istri.

7.    Sebutkan kewajiban suami pada masa iddah ?
Kewajiban suami pada masa iddah :
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut ialah:

1.  Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dhukhul;
2.  Memberikan nafkah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nasyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3.  Melunasi mahar yang masih terutang dan apababila perkawinan itu qabla al dhukul mahar dibayar setengahnya;
4.  Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Bagi pegawai negeri sipil penentuan kewajiban untuk memberikan biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, diatur tersendiri dalam PP No. 10 tahun 1983 yang telah diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 dimana pasal 8 ayat 1 menyebutkan “Apabila perceraian terjadi diatas kehendak pegawai negeri sipil saja, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk kehidupan bekas istri dan anak-anaknya”

Untuk hak dan kewajiban seorang istri yang berada dalam masa iddah, khususnya talak raj’i diantarannya ialah:
1.  Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2.  Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini juga dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
3.  Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
4.  Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5.  Wanita tersebut wajib berihdad(iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6.  Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.


Sedangkan menurut Muhammad  Baqir Al-habsyi ada empat hak perempuan yang berada  dalam masa iddah:
1.  Perempuan dalam masa iddah akibat talak raj’i berhak menerima tempat tinggal dan nafkah mengingat bahwa statusnya masih sebagai istri yang sah dan karenanya tetap telah memiliki hak-hak sebagai istri. Kecuali ia dianggap nusyuz (melakukan hal-hal yang dianggap “durhaka”, yakni melanggar kewajiban taat kepada suaminya) maka ia tidak berhak apa-apa.
2.  Perempuan dalam masa iddah akibat talak ba’in (yakni yang tidak mungkin rujuk) apabila ia dalam keadaan mengandung, berhak juga atas tempat tinggal dan nafkah seperti di atas.

8.    Jelaskan pengertian dan hukum ruju`?
Pengertian ruju :
1)   Rujuk adalah bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa menunggunya (iddah).
2)   Rujuk hanya boleh dilakukan di dalam masa ketika suami boleh rujuk kembali kepada isterinya (talaq raj’i), yakni di antara talak satu atau dua.
3)   Jika seorang suami rujuk dengan istrinya, tidak diperlukan adanya akad nikah yang baru karena akad yang lama belum seutuhnya terputus.
Hukum ruju :
Pada dasarnya hukum rujuk adalah boleh atau jaiz, kemudian hukum rujuk dapat berkembang menjadi berbeda tergantung dari kondisi suami istri yang sedang dalam perceraian. Dan perubahan hukum rujuk dapat menjadi sebagai berikut :
1)   Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila pernyataan cerai (talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan. Maksudnya adalah, seorang suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia menceraikannya. Apabila belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali isrinya.
2)   Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
3)   Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat dibanding mereka rujuk kembali.
4)   Haram, yaitu apabila dengan adanya rujuk si istri semakin menderita.
9.    Jelaskan syarat dan rukun ruju` ?
Syarat ruju :
Ada beberapa syarat yang menjadikan rujuk sah:
1)   Istri yang ditalak telah disetubuhi sebelumnya. Jika suami menceraikan (talak)) istrinya yang belum pernah disetubuhi, maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuknya. Ini adalah persetujuan (ijma) para ulama‟.
2)   Talak yang dijatuhkan bukan merupakan talak tiga (talak raj‟i).
3)   Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, maka istri menjadi talak bain atau tidak dapat merujuk lagi istrinya.
4)   Rujuk dilakukan pada masa menunggu atau masa iddah dari sebuah pernikahan yang sah. Jika masa menunggu (iddah) istri telah habis, maka suami tidak berhak untuk merujuknya. Ini adalah kesepakatan (ijma) para ulama fiqih.
Rukun ruju :
1)   Istri, keadaannya disyaratkan sebagai berikut  : istri telah dicampuri atau disetubuhi (ba’da dukhul), dan seorang istri yang akan dirujuknya, ditalak dengan talak raj’i, yakni talak dimana seorang suami dapat meminta istrinya kembali dan syarat selanjutnya adalah istri tersebut masih dalam masa menunggu (iddah).
2)   Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat akal.
3)   Adanya saksi.
4)   Adanya sighat atau lafadz atau ucapan rujuk yang dapat dimengerti dan tidak ambigu. yaitu ada dua cara :
(1)     Secara terang-terangan, misalnya : “Saya rujuk kepadamu”.
(2)     Secara sindiran, seperti kata suami  : “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Perkataan ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti, tidak digantungkan dengan sesuatu, misalnya saya rujuk kepadamu jika bapakmu mu  Rujuk dengan kalimat seperti di atas hukumnya tidak sah

10.    Jelaskan hikmah ruju` ?
Hikmah ruju  :
1) Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga
2) Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
3) Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.

KETENTUAN HADLANAH

1.    Jelaskan ketentuan hadlanah ?
Pengertian hadhanah
1)   Kata hadhanah menurut bahasa adalah “bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak”. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
2)   Kata hadhanah menurut istilah, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena si anak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksud dengan perwalian (wilayah).

Hukum Hadhanah
1)   Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.

Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak :
1)   Hak wanita yang mengasuh.
2)   Hak anak yang diasuh.
3)   Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.

Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1)    pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk mengasuh anak.
2)    Si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan akan menimpa si anak karena adanya mahram lain selain ibunya.
3)    Seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
4)   Jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh anak.

Syarat- syarat Hadhanah, yaitu :
1)    Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan menyelenggarakan hadhanah.
2)    Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya.
3)    Beragama islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan terhadap orang kafir.
4)    Amanah.
5)    Belum menikah dengan laki- laki lain bagi ibunya.
6)    Bermukim bersama anaknya, bila salah satu diantara mereka pergi maka ayah lebih berhak karena untuk menjaga nasabnya.
7)    Dewasa, karena anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
8)    Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tangannya.
Mayorita Ulama’ sepakat bahwa syarat- syarat hadhanah seperti berakal, amanah, dewasa, mampu mendidik terhindar dari hal-hal yang terdela merupakan bagian dari hadhanah.

2.    Menganalisiskan praktek pengasuhan anak yang tidak sesuai dengan Islam?
Praktek pengasuhan anak yang tidak sesuai dengan Islam itu sangat ditentang sekali dipandang dari sudut manapun, karena anak merupakan amanah yang diberikan oleh Allah swt. kepada orang tua si anak tersebut. Oleh karena itu pengasuhan anak haruslah dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan agar proses tumbuh kembangnya anak itu dapat diketahui tahap demi tahap secara normal, baik pisik maupun psikis anak agar menjadi anak yang berkepribadian baik yang sholeh dan sholehah, hormat dan patuh kepada kedua orang tua, berguna bagi agama, bangsa dan negara.

3.    Jelaskan hikmah yang terkandung dalam aturan hadhanah ?
Adapun hikmah hak memelihara anak menurut Ali Ahmad Al- Jurjawi dilihat dari 2 segi :
1)   Tugas laki- laki dalam urusan penghidupan dan masyarakat berbeda dengan tugas wanita. Perhatian seorang ibu terhadap anknya lebih  tepat dan cocok karena memelihara anaknya keistimewaan ibu.
2)   Seorang ibu mempunyai rasa kasih sayang yang lebih besar terhadap anaknya dari pada seorang ayah. Dan curahan hati tercurah lebih untuk anaknya.



HUKUM FAROID (ILMU MAWARIS)

1.    Jelaskan pengertian dan hukum ilmu mewarisi ?
Pengertian dan hukum ilmu mewarisi :
1)   Dalam literatur fiqh Islam, kewarisan (al-muwarits kata tunggalnya al-mirats ) lazim juga disebut dengan fara’idh, yaitu jamak dari kata faridhah diambil dari kata fardh yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fardh dalam terminology syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.
2)   Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.
3)   Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 (a) menyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Rukun Warisan :
1)   Al-Muwaris, ialah orang yang meninggal dunia
2)   Ahli waris, ialah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati.
3)   Mauruts, adalah harta peninggalan si mati setelah dipotong biaya pengurusan mayit, melunasi hutangnya, dan melaksanakan wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga.


2.    Jelaskan tujuan dan kedudukan ilmu mewarisi ?
Tujuan ilmu mewarisi :
1)   Tujuan ilmu mawaris yaitu agar kaum muslimin bertanggung jawab dalam melaksanakan syariat Islam bidang pembagian harta warisan, supaya dapat memberikan solusi terhadap pembagian harta warisan yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, agar terhindar dari pembagian yang salah (menurut kepentingan pribadi) bagi umat Islam, segala persoalan hidup manusia baik yang berhubungan dengan Allah dan yang terkait dengan manusia lainnya adalah diatur di dalam syariat Islam.
2)   Di samping hal-hal tersebut di atas, tujuan ilmu mawaris adalah untuk menyelamatkan harta benda si mayit agar terhindar dari pengambilan harta orang-orang yang berhak menerimanya dan jangan ada orang-orang makan harta hak milik orang lain, dan hak milik anak yatim dengan jalan yang tidak halal. Inilah yang dimaksud Allah dengan Firman-Nya ( Q.S. al-Baqarah /2 : 188 ) :
Ÿ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. ( Q.S. al-Baqarah /2 : 188 ) 

Kedudukan ilmu mewarisi :
Kedudukan ilmu mawaris itu dimana-mana sudah hampir hilang, orang-orang yang mempunyai ilmu ilmu ini hampir sudah tidak ada dan pembagian harta waris yang diatur menurut syari’at Islam itu sudah tidak banyak dilaksanakan oleh umat Islam sendiri. Kalau ada orang yang mati meninggalkan harta pusaka, tidak segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga akhirnya harta itu habis tidak dibagi.

Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu sudah mensinyalir keadaan yang demikian, sehingga beliau sangat menekankan kaum muslimin untuk mempelajari ilmu faraidh, karena ilmu ini lama-lama akan lenyap, yakni orang-orang menjadi malas untuk melaksanakan pembagian harta pusaka menurut semestinya, yang diatur oleh hukum Islam.
Nabi Muhammad SAW menganggap pentingnya ilmu faraidh ini dan mengkhawatirkan kalau ilmu faraidh ini akan terlupakan.  Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :

عَنْ اَبِى هُرَيِرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَلَّمُوا الْفَرَايِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَاِنَّهَا نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَيُنْسَىوَهُوَ اَوَّلُ سَيْئٍ يُرْفَعُ مِنْ اُمَّتِى (رواه ابن ماجة والدرقطنى)

“Dari Abi Hurairah R.A bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda  belajarlah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia maka sesungguhnya (ilmu) faraidh adalah separoh ilmu agama dan ia akan dilupakan (oleh manusia) dan merupakan ilmu yang pertama diambil dari ummatku (HR. Ibnu Majah dan Daruqutni)

Hukum Membagi Harta Warisan
Hukum membagi harta warisan itu fardhu kifayah, Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah. Artinya kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang memenuhinya, dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang menjalani  kewajiban itu, maka semua orang menanggung dosa.

Beberapa Istilah dalam Fiqh Mawaris yang berkaitan dengan ilmu faraidh antara lain :
1)   Waris, adalah ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya tetapi tidak menerima warisan, dalam fiqih ahli waris semacam ini disebut dzawil  arham.  Waris bisa timbul karena hubungan darah, karena hubungan perkawinan dan karena akibat memerdekakan hamba.
2)   Muwaris, artinya orang yang mewarisi harta peninggalannya, yaitu orang yang meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki atau secara taqdiry (perkiraan), atau melalui keputusan hakim.  Seperti orang yang hilang (al mafqud) dan tidak diketahui kabar berita dan domisilinya. Setelah melalui persaksian atau tenggang waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia telah dinyatakan meninggal dunia.
3)   Al Irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al janazah), pelunasan utang, serta pelaksanaan wasiat.
4)   Warasah,yaitu harta warisan  yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi, karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.
5)   Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang, dan pelaksanaan wasiat.

Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus dilaksanakan beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan itu.
Hak-hak yang harus diselesaikan dan harus dibayar adalah :
1)    Zakat; apabila telah sampai saatnyauntuk mengeluarkan zakatnya, maka dikeluarkan untuk itu terlebih dahulu.
2)    Belanja; yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan dan pengurusan jenazah, seperti halnya untuk membeli kain kafan, upah penggali kuburan dan lain sebagainya.
3)    Hutang; jika mayat itu meninggalkan hutang, maka hutangnya mesti dibayar terlebih dahulu.
4)    Wasiat; jika mayat meninggalkan pesan (wasiat), agar sebagaian dari harta peninggalannya diberikan kepada seseorang, maka wasiat inipun harus dilaksanakan.
Apabila keempat macam hak tersebut di atas ( zakat, biaya penguburan, hutang dan wasiat ), sudah diselesaikan semua, maka harta warisan yang selebihnya dapat dibagi-bagikan kepada ahli yang berhak menerimanya.

3.    Jelaskan sebab-sebab waris mewarisi?
Sebab-sebab waris mewarisi ada 4 macam yaitu :
1)    Sebab nasab (hubungan keluarga).
Hubungan keluarga di sini yang disebut dengan nasab hakiki, artinya hubungan darah atau hubungan kerabat, baik dari garis atas atau leluhur si mayit (Ushul), garis keturunan (Furu’) maupun hubungan kekerabatan garis menyamping (Hawasyi) baik laki-laki maupun perempuan. Misalnya seorang anak akan memperoleh harta warisan dari bapak, dan sebaliknya, seseorang akan memperoleh harta warisan dari saudaranya, dll. Sebagaimana firman Allah SWT (QS. An-Nisa’ : 7) :
  
7. bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

2)  Sebab pernikahan yang sah.
Pernikahan yang sah yakni hubungan suami istri yang diikat oleh adanya akad nikah. Dari sebab inilah lahirlah istilah-istilah dalam ilmu faraidh, seperti : Dzawil furudh, Ashobah, Furudz Al Muqadzarah. Firman Allah  (QS. An-Nisa’ : 12)  :
12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

[274] Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

3)  Sebab wala’ (الولاء) atau sebab jalan memerdekakan budak.
Tuan yang memerdekakan hamba sahayanya apabila hamba sahaya yang dimerdekakan itu mati, maka tuan itu berhak menerima harta pusaka atau warisan peninggalan hamba sahaya itu. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya hak menerima harta pusaka itu bagi orang yang memerdekakan (H.R. Bukhari Muslim)

4)  Sebab kesamaan agama (اتحاد الدين).
Kesamaan agama yaitu apabila ada orang Islam yang meninggal dunia sedangkan ia tidak mempunyai ahli waris (baik sebab nasab, nikah maupun wala’) maka harta warisan peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris”  (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Rasulullah SAW. terang tidak menerima harta pusaka untuk diri beliau sendiri, hanya beliau menerima warisan seperti itu untuk dipergunakan semata-mata untuk kemaslahatan umat Islam.

4.    Jelaskan halangan waris mewarisi ?
Halangan waris mewarisi :
Yang dimaksud terhalang di sini adalah Ahli waris baik laki-laki maupun perempuan yang semestinya mendapatkan harta warisan tetapi terhalang karena adanya sebab-sebab tertentu. Orang tersebut disebut orang yang terhalang (Mamnu’ul Irtsy) atau disebut terhalang karena adanya sifat tertentu (Mahjub bil Washfi).

Ahli waris menjadi gugur haknya untuk mendapatkan harta warisan disebabkan karena  sebagai berikut:
1)   Pembunuh
Orang yang membunuh kerabat keluarganya tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh. Sabda Nabi Muhammad SAW :
Tidak berhak mendapatkan harta warisan sedikitpun seorang yang membunuh”.
Mengenai masalah ini, ada perbedaan pendapat :
(1)   Segolongan kecil berpendapat, bahwa si pembunuh tetap mendapatkan warisn selaku, selaku ahli wais.
(2)   Kemudian golongan lain memisahkan sifat pembunuhan itu, yaitu pembunuhan yang disengaja dan yang tersalah. Siapa yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, dia tidak mendapat warisan sama sekali. Siapa yang melakukan pembunuhan tersalah, dia tetap mendapat warisan. Pendapat ini dianut oleh Malik bin Anas dan pengikut-pengikutnya.
Yang menjadi pangkal pokok perbedaan pendapat mengenai hal ini ialah, disebabkan suatu pertimbangan tentang kepentingan umum. Menurut kepentingan umum, sudah sepantasnya si pembunuh itu tidak mendapatkan warisan, supaya jangan sampai terjadi pembunuhan-pembunuhan, karena mengharapkan harta warisan. Demikian penemikian pendapat sebagaian besar ulama. 

2)   Budak (Hamba Sahaya)
Seorang yang menjadi budak tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan dari tuannya, dan juga tuannya tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan dari budaknya. Sebagaimana firman Allah SWT ”.  (QS. An-Nahl: 75):
ƒ   
75. Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui[833].

[833] Maksud dari perumpamaan ini ialah untuk membantah orang-orang musyrikin yang menyamakan Tuhan yang memberi rezki dengan berhala-berhala yang tidak berdaya.

3)   Orang murtad.
Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya.

4)   Perbedaan Agama
Orang Islam tidak dapat mewarisi harta warisan dari orang kafir meskipun masih kerabat keluarganya. Demikian juga sebaliknya sebagaimana Sabda Rasulullah:
“Orang Islam tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang kafir, dan orang kafir tidak bisa mendapatkan harta warisan dari Orang Islam (HR. Bukhari Muslim)

Ada beberapa ahli waris yang tidak bisa terhalangi haknya meskipun semua ahli waris itu ada. Mereka itu adalah :
1)   Anak laki-laki
2)   Anak perempuan
3)   Bapak
4)   Ibu
5)   Suami atau isteri

5.    Jelaskan macam-macam ahli waris dan bagiannya ?
Macam-macam ahli waris dan bagiannya :
a.   Klasifikasi Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima bagian dari harta warisan. Ahli waris tersebut adalah baik laki-laki mapun perempuan, baik yang mendapatkan bagian tertentu (Dzawil Furudh), maupun yang mendapatkan sisa (Ashabah), dan yang terhalang (Mahjub) maupun yang tidak. Ditinjau dari sebab-sebab seseorang menjadi ahli waris, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1)        Ahli waris Sababiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena hubungan perkawinan dengan orang yang meninggal yaitu suami atau istri.

2)    Ahli waris Nasabiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena hubungan nasab atau  pertalian darah dengan orang yang meninggal. Ahli waris nasabiyah ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
a)  Ushulul Mayyit, yang terdiri dari bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya ke atas (garis keturunan ke atas).
b)  Al Furu’ul Mayyit, yaitu anak, cucu, dan seterusnya sampai ke bawah (garis keturunan ke bawah).
c)  Al Hawasyis, yaitu saudara paman, bibi, serta anak-anak mereka (garis keturunan ke samping) Dari segi jenis kelamin, ahli waris, dibagi menjadi ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.

Yang termasuk ahli waris laki-laki ada lima belas orang, yaitu:
1)        Suami
2)        anak laki-laki
3)        cucu laki-laki
4)        bapak
5)        kakek dari bapak sampai ke atas  
6)        saudara laki-laki kandung
7)        saudara laki-laki seayah
8)        saudara laki-laki seibu
9)        anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 
10)    anak laki-laki saudara laki-laki seayah    
11)    paman sekandung dengan bapak
12)    paman seayah dengan bapak
13)    anak laki-laki paman sekandung dengan bapak
14)    anak laki-laki paman seayah dengan bapak
15)    orang yang memerdekakan

Jika semua ahli waris laki-laki di atas ada semua, maka yang mendapat warisan adalah suami, anak laki-laki, dan bapak, sedangkan yang lain terhalang
Adapun ahli waris perempuan ada 10 orang, yaitu :
1)        Istri
2)        Anak perempuan
3)        Cucu perempuan dari anak laki-laki
4)        Ibu
5)        Nenek dari ibu 
6)        Nenek dari bapak
7)        Saudara perempuan kandung
8)        Saudara perempuan seayah 
9)        Saudara perempuan seibu 
10)    Orang perempuan yang memerdekakan

Jika ahli waris perempuan ini semua ada, maka yang mendapat bagian harta warisan adalah : istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan kandung.

Selanjutnya, jika seluruh ahli waris ada baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat bagian adalah :
1)   Suami/istri,
2)   Bapak/ibu,
3)   anak laki-laki.
4)   anak perempuan.

b.  Furudhul Muqadzarah
Furudzul Muqaddarah adalah bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan Al-Qur’an bagi ahli waris tertentu juga. Bagian tertentu tersebut menurut Al-Qur’an adalah:
1)      Bagian 1/2
2)      Bagian 1/4
3)      Bagian 1/8
4)      Bagian 1/3
5)      Bagian 2/3
6)      Bagian 1/6

c.  Dzawil Furudz
Dzawil Furudh adalah orang-orang dari ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu sebagaimana tersebut di atas, disebut juga Ashabul Furudh.
Adapun bagian-bagian tertentu tersebut menurut Al-Qur’an  adalah :
1)    Ahli waris yang mendapat bagian ½, ada lima ahli waris sebagai berikut :
a)  Anak perempuan (tunggal), dan jika tidak ada anak laki-laki.
Berdasarkan firman Allah :
   “jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh 1/2 harta” (QS. An Nisa/4 : 11)
b)  Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki selama tidak ada :
1)    anak laki-laki;
2)    cucu laki-laki dari anak laki-laki;
c)  Saudara perempuan kandung tunggal, jika tidak ada :
1)    Anak laki-laki atau anak perempuan;
2)    Cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki;
3)    Bapak;
4)    Kakek ( bapak dari bapak );
5)    Saudara laki-laki sekandung.
Firman Allah SWT :
”Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya”. (Q.S. An-Nisa’/4 :176 )

d)    Saudara perempuan seayah tunggal, dan jika tidak ada :
1)    Anak laki-laki atau anak perempuan;
2)    Cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki;
3)    Bapak;
4)    Kakek ( bapak dari bapak );
5)    Saudara perempuan sekandung.
6)    saudara laki-laki sebapak.
Firman Allah SWT :
“Dan bagi orang yang meninggalkan saudara perempuan maka ia mendapat bagian 1/2 dari harta warisan”. (QS. An Nisa/4: 175) .

e)    Suami,  jika tidak ada :
1)    anak laki-laki atau perempuan
2)    cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Firman Allah SWT :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak”(Q.S. An-Nisa’/4 :12 )

2)  Ahli waris yang mendapat bagian 1/4
a)  Suami, jika ada :
1)  anak laki-laki atau perempuan
2)  cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
Firman Allah SWT :
“Apabila istri-istri kamu itu mempunyai anak maka kamu memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan” (Q.S, an-Nisa/4 : 12)

b)  Istri (seorang atau lebih), jika ada :
1)  anak laki-laki atau perempuan
2)  cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Firman Allah SWT :
“Dan bagi istri-istrimu mendapat seperempat dari harta yang kamu tinggalkan apabila kamu tidak meninggalkan anak”. (Q.S. An-Nisa’/4: 12)

3)  Ahli waris yang mendapat bagian 1/8
Ahli waris yang mendapat bagian 1//8 adalah istri baik seorang atau lebih, jika ada :
(1)     anak laki-laki atau perempuan
(2)     cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Firman Allah SWT :
“Apabila kamu mempunyai anak, maka untuk istri-istrimu itu seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan “. (Q.S.An-Nisa’/4 : 12)

4)  Ahli waris yang mendapat bagian 2/3
Dua pertega ( 2/3) dari harta pusaka  menjadi bagian empat orang :
a)    Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Jika anak itu semua perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”.(Q.S. An-Nisa’ /4 : 11 )
b)  Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki jika tidak ada anak perempuan atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c)  Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudarai laki-laki kandung.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkannya oleh yang meninggal”.(Q.S. An-Nisa’/4 : 176 )
d) Dua orang perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki dan saudara laki-laki seayah.

5)  Ahli waris yang mendapat bagian 1/3
a)  Ibu, jika yang meninggal tidak memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki atau saudara-saudara.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam”. (QS. An Nisa : 11).
b)  Dua orang saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan yang seibu.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari satu orang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”. (Q.S. An-Nisa’/4 : 12

6)  Ahli waris yang mendapat bagian 1/6.
Bagian seperenam (1/6) dari harta pusaka menjadi milik tujuh orang :
a)  Ibu, jika yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua orang atau lebih dari saudara laki-laki atau perempuan.
b)  Bapak, bila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak”.( Q.S An-Nisa’/4 : 11 ) 
c)  Nenek (Ibu dari ibu atau ibu dari bapak), bila tidak ada ibu.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Bahwasanya Nabi SAW. telah memberikan bagian seperenam kepada nenek, jika tidak terdapat (yang menghalanginya), yaitu ibu”.(H.R. Abu Dawud dan Nasa’i )
d) Cucu perempuan dari anak laki-laki, seorang atau lebih, jika bersama-sama  seorang anak perempuan .
Sabda Nabi Muhammad SAW :
“ Nabi SAW. telah menetapkan seperenam bagian untuk cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan”. (H.R. Bukhari ).
e)  Kakek, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, dan tidak ada bapak.
f)  Seorang saudara seibu (laki-laki atau perempuan),  jika yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan bapak.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“ Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja, atau saudara perempuan seibu saja, maka bagi masing-masing kedua saudara ibu seperenam harta”. ( Q.S. An-Nisa’/4 : 12 )
g)  Saudara perempuan seayah seorang atau lebih, jika yang meninggal dunia mempunyai saudara perempuan sekandung dan tidak ada saudara laki-laki sebapak.

Ahli waris yang tergolong dzawil furudz dan kemungkinan bagian masing-masing adalah sebagai berikut :
1)  Bapak mempunyai tiga kemungkinan;
a)  1/6 jika bersama anak laki-laki.
b)  1/6 dan ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
c)  ashabah jika tidak ada anak.
2)  Kakek (bapak dari bapak) mempunyai 4 kemungkinan
a)  1/6 jika bersama anak laki-laki atau perempuan
b)  1/6 dan ashabah  jika bersama anak laki-laki atau perempuan
c)  Ashabah ketika tidak ada anak atau bapak.
d)  Mahjub atau terhalang jika ada bapak.
3)  Suami mempunyai dua kemungkinan;
a)  1/2 jika yang meninggal tidak mempunyai anak.
b)  1/4 jika yang meninggal mempunyai anak.
4)  Anak perempuan mempunyai tiga kemungkinan;
a)  1/2 jika seorang saja dan tidak ada anak laki-laki.
b)  2/3 jika dua orang atau lebih dan jika tidak ada anak laki-laki.
c)  menjadi ashabah, jika bersamanya ada anak laki-laki.
5)  Cucu perempuan dari anak laki-laki  mempunyai 5 kemungkinan;
a)  1/2 jika seorang saja dan tidak ada anak dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
b)  2/3 jika cucu perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada anak dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c)  1/6 jika bersamanya ada seorang anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
d) Menjadi ashabah jika bersamanya ada cucu laki-laki.
e)  Mahjub/terhalang oleh dua orang anak perempuan atau anak laki-laki.
6)  Istri mempunyai dua kemungkinan;
a)  1/4 jika yang meninggal tidak mempunyai anak.
b)  1/8 jika yang meninggal mempunyai anak.
7)  Ibu mempunyai tiga kemungkinan;
a)  1/6 jika yang meninggal mempunyai anak.
b)  1/3 jika yang meninggal tidak mempunyai anak atau dua orang saudara.
c)  1/3 dari sisa ketika ahli warisnya terdiri dari suami, Ibu dan bapak, atau istri, ibu dan bapak.
8)  Saudara perempuan kandung mempunyai lima kemungkinan
a)  1/2 kalau ia seorang saja.
b)  2/8 jika dua orang atau lebih.
c)  Ashabah kalau bersama anak perempuan.
d) Mahjub/tertutup jika ada ayah atau anak laki-laki atau cucu laki-laki.
9)  Saudara perempuan seayah mempunyai tujuh kemungkinan
a)  1/2 jika ia seorang saja.
b)  2/3 jika dua orang atau lebih.
c)  Ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan.
d)  1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung.
e)  Mahjub/terhalang oleh ayah atau anak laki-laki, atau cucu laki-laki atau saudara laki-laki kandung atau saudara kandung yang menjadi ashabah.
10)  Saudara perempuan atau laki-laki seibu mempunyai tiga kemungkinan.
a)  1/6 jika seorang, baik laki-laki atau perempuan.
b)  1/3 jika ada dua orang atau lebih baik laki-laki atau permpuan.
c)  Mahjub/terhalang oleh anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki, ayah atau nenek laki-laki.
11)  Nenek (ibu dari ibu) mempunyai dua kemungkinan
a)  1/6 jika seorang atau lebih dan tidak ada ibu.
b)  Mahjub/terhalang oleh ibu.

d.  ’Ashabah
1)  Menurut bahasa ashabah adalah bentuk jamak dari ”Ashib” yang artinya mengikat, menguatkan hubungan kerabat/nasab.
2)  Menurut syara’ ’ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah harta dibagi kepada ahli waris dzawil furudz.
3)  Ahli waris yang menjadi ’ashabah kemungkinan mendapat seluruh harta, karena tidak ada ahli waris dzawil furudh, akan mendapat sebagaian sisa ketika ia bersama ahli waris dzawil furudh, atau bahkan tidak mendapatkan sisa sama sekali karena sudah habis dibagikan kepada ahli waris dzawil furudh.

Di dalam istilah ilmu faraidh, macam-macam ‘ashabah ada tiga yaitu :
1)  Ashabah Binnafsi yaitu menjadi ‘ashabah dengan sebab sendirinya, tanpa disebabkan oleh orang lain. Ahli waris yang termasuk ashabah binnafsi adalah :
a)  Anak laki-laki
b)  Cucu laki-laki
c)  Ayah
d)  Kakek
e)  Saudara kandung laki-laki
f)  Sudara seayah laki-laki
g)  Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
h)  Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i)   Paman kandung
j)   Paman seayah
k)  Anak laki-laki paman kandung
l)   Anak laki-laki paman seayah
m) Laki-laki yang memerdekakan budak

Apabila semua ‘ashabah-‘ashabah ada, maka tidak semua ‘ashabah mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang ( ‘ashabah-‘ashabah) yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut di atas.

Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”. (Q.S.An-Nisa’/4 : 11)

2)  ‘Ashabah Bilgha’ir yaitu anak perempuan, cucu peremuan, saudara perempuan seayah, yang menjadi ashabah jika bersama saudara laki-laki mereka masing-masing ( ‘Ashabah dengan sebab terbawa oleh laki-laki yang setingkat ).
Prempuan yang menjadi ‘ashabah dengan sebab orang lain adalah :
a)  Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah dengan ketentuan, bahwa untuk laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.
b)  Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
c)  Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
d)  Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.

Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara membaginya ialah, untuk saudara laki-laki dua kali lipat saudara perempuan.
Allah berfirman adalam al-Qur’an :
“Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan”. (.Q.S, An-Nisa’ /4 : 176 )

3)  ‘Ashabah Ma’algha’ir ( ‘ashabah bersama orang lain ) yaitu ahli waris perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan lain. Mereka adalah :
a)  Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
b)  Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki.

e.  Hijab
Hijab adalah penghapusan hak waris seseorang, baik penghapusan sama sekali ataupun pengurangan bagian harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat pertaliaannya ( hubungannya ) dengan orang yang meninggal.
Oleh karena itu hijab ada dua macam :
1)  (hijab hirman) yaitu penghapusan seluruh bagian , karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan orang yang meninggal itu. Contoh cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak mendapat bagian selama ada anak laki-laki.
2)  (hijab nuqshon) yaitu pengurangan bagian dari harta warisan, karena ada ahli waris lain yang bersama-sama dengan dia. Contoh : ibu mendapat 1/3 bagian, tetapi yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu atau beberapa saudara, maka bagian ibu berubah menjadi 1/6.

Dengan demikian ada ahli waris yang terhalang (tidak mendapat bagian) yang disebut (mahjub hirman), ada ahli waris yang hanya bergeser atau berkurang bagiannya yang disebut  (mahjub nuqshan) Ahli waris  yang terakhir ini tidak akan terhalang meskipun semua ahli waris ada, mereka tetap akan mendapat bagian harta warisan meskipun dapat berkurang. Mereka adalah ahli waris dekat yang disebut  (Al Aqrabun) mereka terdiri dari : Suami atau istri, Anak laki-laki dan anak perempuan, Ayah dan ibu.

Ahli waris yang terhalang :

Berikut di bawah ini ahli waris yang terhijab atau terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan yang meninggal adalah :
1)  Kakek (ayah dari ayah) terhijab/terhalang oleh ayah. Jika ayah masih hidup maka kakek tidak mendapat bagian.
2)  Nenek (ibu dari ibu) terhijab /terhalang oleh ibu
3)  Nenek dari ayah, terhijab/terhalang oleh ayah dan juga oleh ibu
4)  Cucu dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh anak laki-laki
5)  Saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  cucu laki-laki dari anak laki-laki
c)  ayah
6)  Saudara kandung perempuan terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  ayah
7)  Saudara ayah laki-laki dan perempuan terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  anak laki-laki dan anak laki-laki
c)  ayah
d)  saudara kandung laki-laki
e)  saudara kandung perempuan
f)     anak perempuan
g)  cucu perempuan
8)  Saudara seibu laki-laki / perempuan terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki atau perempuan
b)  cucu laki-laki  atau perempuan
c)  ayah
d)  kakek
9)  Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  cucu laki-laki
c)  ayah
d)  kakek
e)  saudara kandung laki-laki
f)     saudara seayah laki-laki
10)  Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  cucu laki-laki
c)  ayah
d)  kakek
e)  saudara kandung laki-laki
f)  saudara seayah laki-laki
11)  Paman (saudara laki-laki sekandung ayah) terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  cucu laki-laki
c)              ayah
d)  kakek
e)  saudara kandung laki-laki
f)  saudara seayah laki-laki
12)  Paman (saudara laki-laki sebapak ayah) terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  cucu laki-laki
c)  ayah
d)  kakek
e)  saudara kandung laki-laki
f)  saudara seayah laki-laki
13)  Anak laki-laki paman sekandung terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  cucu laki-laki
c)  ayah
d)  kakek
e)  saudara kandung laki-laki
f)   saudara seayah laki-laki
14)  Anak laki-laki paman seayah terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  cucu laki-laki
c)  ayah
d)  kakek
e)  saudara kandung laki-laki
f)  saudara seayah laki-laki
15)  Cucu perempuan dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a)  anak laki-laki
b)  dua orang perempuan jika cucu perempuan tersebut tidak bersaudara laki-laki yang menjadikan dia sebagai ashabah



Menentukan bagian dan pendapatan ahli waris :
Untuk menentukan ahli waris yang mendapatkan harta warisan, maka harus diketahui siapa ahli waris yang terhalang (terhijab), siapa yang mendapat bagian tertentu, siapa yang menjadi ashabah, berapa KPK/AM nya.         
Contoh 1
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris yang terdiri atas suami, bapak, dan seorang anak perempuan. Harta warisan yang harus dibagikan adalah uang sejumlah Rp. 20.000.000,00. Hitunglah bagian masing-masing ahli waris :

Langkah 1
Ahli Waris
Bagian
Keterangan
Suami
1/4
Karena ada anak
Anak Perempuan
1/2
Karena tunggal
Bapak
Ashabah
Karena tidak ada anak laki-laki


KPK/Asal Masalahnya = 4

Langkah 2
Ahli Waris
Bagian
AM = 4
Jumlah Bagian
Suami
1/4
¼ x 4
1
Anak Perempuan
1/2
½ x 4
2
Bapak
Ashabah
Ashabah/sisa
4 – 3 = 1





Langkah 3
Ahli Waris
Bagian
Jumlah bagian
Suami
¼ x Rp. 20.000.000,00
Rp.   5.000.000,00
Anak Perempuan
½ x Rp. 20.000.000,00
Rp. 10.000.000,00
Bapak
¼ x Rp. 20.000.000,00
Rp.   5.000.000,00
Jumlah
Rp. 20.000.000,00

Contoh 2
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, suami dan kakek. Harta warisan yang harus dibagikan adalah Rp. 36.000.000,00 . Tentukan ahli waris yang mendapat bagian dan hitunglah bagian masing-masing tersebut

Langkah 1
Ahli Waris
Bagian
Keterangan
Anak perempuan
1/2
Karena tunggal
Cucu perempuan
1/6
Bersamanya ada seorang anak perempuan
Suami
1/4
Karena ada anak perempuan
Kakek
Ashabah
Karena tidak ada anak laki-laki atau bapak


KPK/Asal Masalahnya = 12

Langkah 2
Ahli Waris
Bagian
AM = 12
Jumlah Bagian
Anak perempuan
1/2
½ x 12
6
Cucu perempuan
1/6
1/6 x 12
2
Suami
1/4
¼ x 12
3
Kakek
Ashabah
Ashabah/sisa
12 – 11 = 1





Langkah 3
Ahli Waris
Bagian
Jumlah bagian
Anak perempuan
6/12 x Rp. 36.000.000,00
Rp. 18.000.000,00
Cucu perempuan
2/12 x Rp. 36.000.000,00
Rp.   6.000.000,00
Suami
3/12 x Rp. 36.000.000,00
Rp.   9.000.000,00
Kakek
1/12 x Rp. 36.000.000,00
Rp.   3.000.000,00
Jumlah
Rp. 36.000.000,00


Contoh 3
Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya dua anak perempuan, dua orang ibu bapak dan 2 orang istri. Harta warisan senilai Rp. 96.000.000,00. Maka penyelesaiannya sebagia berikut :

Langkah 1
Ahli Waris
Bagian
Keterangan
2 Anak perempuan
2/3
Karena lebih dari satu
ibu
1/6
Bersamanya ada seorang anak perempuan
2 orang istri
1/8
Karena ada anak perempuan
Bapak
Ashabah



KPK/Asal Masalahnya = 24


Langkah 2
Ahli Waris
Bagian
AM = 24
Jumlah Bagian
2 Anak perempuan
2/3
2/3 x 24
              16
ibu
1/6
1/6 x 24
                4
2 orang istri
1/8
1/8 x 24
                3
Bapak
Ashabah
Ashabah/sisa
24 – 23 = 1






Langkah 3
Ahli Waris
Bagian
Jumlah bagian
2 Anak perempuan
16/24 x Rp. 96.000.000,00
   Rp. 64.000.000,00
ibu
4/24 x Rp. 96.000.000,00
   Rp. 16.000.000,00
2 orang istri
3/24 x Rp. 96.000.000,00
   Rp. 12.000.000,00
Bapak
1/12 x Rp. 96.000.000,00
   Rp.   4.000.000,00
Jumlah
   Rp. 96.000.000,00


Contoh 4
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan : suami,dua orang ibu bapak, seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan, seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan paman. Jumlah harta yang ditinggalkan sebesar Rp. 24.000.000,00
Maka penyelesaiannya adalah sebai berikut :



Langkah 1
Ahli Waris
Bagian
Keterangan
Suami
1/4
Karena ada anak
Ibu
1/6
Karena ada anak
Bapak
1/6
Karena ada anak
1 Anak laki-laki
Ashabah Binnafsi

2 Anak perempuan
Ashabah Bilghair
Bersamanya ada anak laki-laki
1 Cucu laki-laki
Terhijab
Karena ada anak
Paman
Terhijab
Karena ada anak dan bapak


KPK/Asal Masalahnya = 12


Langkah 2
Ahli Waris
Bagian
AM = 12
Jumlah Bagian
Suami
1/4
1/4 x 12
                3
Ibu
1/6
1/6 x 12
                2
Bapak
1/6
1/6 x 12
                2
1 Anak laki-laki
}Ashabah
Ashabah/sisa
  12 – 7 = 5
2 Anak perempuan
}Ashabah



Langkah 3
Ahli Waris
Bagian
Jumlah bagian
Suami
3/12 x Rp. 24.000.000,00
   Rp.   6.000.000,00
Ibu
2/12 x Rp. 24.000.000,00
   Rp.   4.000.000,00
Bapak
2/12 x Rp. 24.000.000,00
   Rp.   4.000.000,00
Anak ( L / P )
5/12 x Rp. 24.000.000,00
   Rp. 10.000.000,00
Jumlah
   Rp. 24.000.000,00

Bagian untuk anak laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan ( 2 : 1 ), sehingga perbandingannya 2 : 2 = 4
Jadi bagian 1 anak laki-laki                 = 2/4 x Rp. 10.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
Sedangkan bagian 2 anak perempuan = 2/4 x Rp. 10.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00

Contoh 5
Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya  tiga orang saudara laki-laki seibu, seorang istri, ibu dan paman sekandung dengan bapak . Harta yang ditinggalkan adalah Rp. 48.000.000,00. Maka penyelesaiannya adalah sebagai berikut :

Langkah 1
Ahli Waris
Bagian
Keterangan
3 Sdr laki-laki seibu
1/3
Karena lebih dari satu dan tidak ada anak
Istri
1/4
Karena tidak ada anak
Ibu
1/6
Karena ada saudara laki-laki
Paman
Ashabah
Karena tidak ada anak laki-laki dan bapak


KPK/Asal Masalahnya = 12

Langkah 2
Ahli Waris
Bagian
AM = 12
Jumlah Bagian
3 Sdr laki-laki seibu
1/3
1/3 x 12
                4
Istri
1/4
1/4 x 12
                3
Ibu
1/6
1/6 x 12
                2
Paman
Ashabah
Ashabah/sisa
 12 – 9  = 3










Langkah 3
Ahli Waris
Bagian
Jumlah bagian
3 Sdr laki-laki seibu
4/12x Rp. 48.000.000,00
Rp. 16.000.000,00
Istri
3/12 x Rp. 48.000.000,00
Rp. 12.000.000,00
Ibu
2/12 x Rp. 48.000.000,00
Rp.   8.000.000,00
Paman
3/12 x Rp. 48.000.000,00
Rp. 12.000.000,00
Jumlah
Rp. 48.000.000,00

6.    Jelaskan tentang cara pembagian waris dengan aul dan radd ?
Cara pembagian waris dengan aul :
1)   Kata ‘Aul menurut bahasa bermakna ‘naik’ atau ‘meluap’.  Al ‘aul bisa juga berarti ‘bertambah’ atau “ menaikkan jumlah bagian ahli waris terhadap Asal Masalah “.
2)   Kata ‘Aul menurut istilah fuqaha yaitu “bertambahnya jumlah bagian –bagian, disebabkan kurang pendapatan yang harus diterimaoleh ahli waris, sehingga jumlah bagian semuannya berlebih dari Asal Masalahnya atau KPK. ‘Aul terjadi saat makin banyaknya ashabul furud sehingga harta yang dibagikan habis. Padahal masih ada diantara para ahli waris yang belum menerima bagian. Dalam keadaan tersebut kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashabul furud yang ada, meskipun bagian mereka menjadi berkurang.
Menurut Ulama-ulama faraidh, pokok masalah yang dapat yang di’aul, hanya tiga masalah saja, yaitu:

AM 6 bisa di’aul menjadi 7, 8, 9, dan 10.
AM 12 bisa di’aul menjadi 13, 15 dan 17.
AM 24 hanya bisa di’aul menjadi 27.
     
‘Aul dalam pembagian warisan adalah cara mengatasi kesulitan pembagian warisan jika asal masalah yang dilambangkan angka pembilang lebih kecil dari jumlah penyebutnya. Penyelesaian masalah ini adalah dengan membulatkan angka pembilangnya.
Contoh kasus 1:  Seseorang meninggal dengan Ahli waris, terdiri dari suami dan dua sdr. Perempuan kandung, dengan harta peninggalan 14.400.000,00. Berapa bagian masing-masing ahli waris ?



Langkah 1
NO
Ahli Waris
Bagian
AM = 6
1.
2.
Suami
2 Sdr. Perempuan sekandung
½ ( tidak ada anak)
2/3 ( tidak ada anak)
½  x  6    = 3     
2/3 x 6    = 4     

Jumlah
              =  7  bagian  



Langkah 2
NO
Ahli Waris
Bagian
Jumlah Bagian
1.
2.
Suami
2 Sdr. Perempuan sekandung
3/7 x Rp. 1.400.000,00
4/7 x Rp. 1.400.000,00
Rp.   600.000,00
Rp.   800.000,00
Jumlah
 Rp.1.400.000,00         


Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah pembilang adalah 7 ( jumlah angka bagian ahli waris ), lebih besar dari jumlah penyebut yaitu 6 ( yang menjadi angka jumlah  harta peninggalan /menjadi AM). Oleh karena itu angka 6 di’aul menjadi 7, sehingga bagian masing-masing ahli waris sbb :
Suami dari 3/6 menjadi 3/7 x jumlah harta
Dua sdr. perempuan sekandung 4/6 menjadi 3/7 x jumlah harta

Contoh kasus 2.
Seorang meninggal dengan ahli waris terdiri dari : suami, ibu, dua saudara perempuan kandung dan seorang saudara laki-laki seibu. Harta peninggalan seharga Rp. 5.400.000,00. Berapa bagian masing-masing ahli waris ?

Langkah 1
NO
Ahli Waris
Bagian
AM = 6
1.
2.
3.
Suami
Ibu
2 sdr perempuan kandung
½ ( tidak ada anak)
1/6 ( tidak ada anak)
2/3( lebih dari satu)
½  x  6    = 3     
1/6 x 6    = 1    
2/3 x 6    = 4
4.
1 sdr laki-laki seibu
1/6 (seorang dan ada ibu)
1/6 x 6    = 1




Jumlah
              =  9 bagian  

Langkah 2
NO
Ahli Waris
Bagian
Jumlah Bagian
1.
2.
3.
Suami
Ibu
2 sdr perempuan kandung
3/9 x Rp. 5.400.000,00
1/9 x Rp. 5.400.000,00
4/9 x Rp. 5.400.000,00
Rp.   1.800.000,00
Rp.      600.000,00
Rp.   2.400.000,00
4.
1 sdr laki-laki seibu
1/9 x Rp. 5.400.000,00
Rp.      600.000,00
Jumlah
Rp.  5.400.000,00         

Cara pembagian waris dengan aul dan radd :
1)   Kata Radd menurut bahasa Arab berarti kembali / kembalikan.
2)   Kata Radd menurut istilah ilmu faraid ialah pengembalian sisa pembagian harta warisan kepada dzawil furudh selain suami atau istri.
3)   Jadi, apabila dalam ahli waris tersebut tidak ada suami atau istri maka sisa pembagian tersebut ditambahkan (dikembalikan) kepada ahli waris dzawil furudh dengan cara menjadikan Asal Masalah (AM) dengan jumlah bilangan pembilangnya (jumlah bagian masing-masing ahli waris). Radd merupakan kebalikan dari al ‘aul. Misalnya dalam suatu pembagian hak waris, para ashabul furud telah menerima haknya masing-masing. Akan tetapi harta warisan ternyata masih tersisa, dan tidak ada kerabat lain yang menjadi ashabah. Jika demikian, maka sisa harta warisan akan diberikan atau dikembalikan kepada para ashabul furud selain suami atau istri sesuai bagian masing-masing ahli waris.

Ar radd tidak akan terjadi kecuali terpenuhi tiga syarat berikut :  yaitu (1) adanya ashabul furud, (2) tidak adanya ‘ashabah, dan (3) masih adanya sisa harta waris. Bila dalam pembagian waris tidak ada tiga syarat tersebut, maka radd tidak akan terjadi.
Radd dalam arti bahasa adalah mengembalikan. Dalam arti istilah adalah mengembalikan sisa harta pusaka kepada ahli waris selain suami atau istri.
Contoh : Seseorang meninggal dengan Ahli waris terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan, maka bagiannya adalah
NO
Ahli Waris
Bagian
AM= 6
1.
2.
Ibu
Anak Perempuan
1/6
1/2
1/6x 6   = 1         1/4 x jumlah harta
½ x 6    = 3        3/4 x jumlah harta
Jumlah

             = 4       4/4  x jumlah harta

Cara Pembagian Sisa Warisan (radd)
Untuk melaksanakan pembagian sisa warisan yang diraddkan, hendaklah diperhatikan terlebih dahulu ahli-ahli waris yang mendapat bagian, yaitu :
a)  Apakah ada di antara ahli waris yang mendapat bagian itu, suami atau istri ?.

Apabila di antara ahli waris yang mendapatkan bagian ada suami atau istri, maka radd dilaksanakan dengan cara sebagai berikut ;


Contoh kasus: Seorang meninggal ahli waris terdiri dari suami dan ibu. Harta peninggalan 60.000,00.
Langkah 1:
No
Ahli Waris
Bagian
AM = 6
Jumlah Bagian
1.
Suami
1/2
½  x 6
3
2.
Ibu
1/3
1/3 x 6
2




Sisa          1
Jumlah
6

Sisanya 1 bagian langsung diberikan kepada ibu (2 + 1 = 3), karena dia saja yang mendapat bagian selain suami, sehingga bagaiannya adalah :

Langkah 2 :
No
Ahli Waris
Bagian
AM = 6
Jumlah Bagian
1.
Suami
1/2
½  x 6
3/6 x Rp. 60.000,00 = Rp. 30.000,00
2.
Ibu
1/3
1/3 x 6
3/6 x Rp. 60.000,00 = Rp. 30.000,00





Jumlah
                                 = Rp. 60.000,00

b)  Apakah tidak ada di antara ahli warisyang mendapat bagian itu suami atau istri ?.
Apabila di antara ahli waris yang mendapat bagian tidak ada suami atau istri, maka radd dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
Contoh kasus: Seorang meninggal, ahli warisnya dua orang saudara perempuan kandung dan ibu. Harta peninggalan Rp. 20.000,00.

Langkah 1:
No
Ahli Waris
Bagian
AM = 6
Jumlah Bagian
1.
2  Sdr perempuan kandung
2/3
 2/3 x 6
4
2.
Ibu
1/6
1/6 x 6
1





Jumlah
5

Langkah 2 :
No
Ahli Waris
Bagian
AM = 6
Jumlah Bagian
1.
2 Sdr pr kandung
2/3
 2/3 x 6
4/5 x Rp. 20.000,00 = Rp. 16.000,00
2.
Ibu
1/6
1/6 x 6
1/5 x Rp. 20.000,00 = Rp.   4.000,00





Jumlah
                                = Rp. 20.000,00

7.    Jelaskan masalah gharrawain, musyarakah dan akhdariyah ?
Masalah gharrawain :
1)   Gharawain menurut bahasa adalah dua perkara yang sudah jelas, yakni dua masalah yang sudah jelas dan terkenal di kalangan ulama. Masalah gharawain hanya terjadi apabila ahli waris yang ditinggalkan pewaris hanya terdiri atas ibu, bapak dan suami atau istri. Masalah gharawain merupakan hasil pemikiran Umar ra. Masalah gharawain pada prakteknya memang jarang terjadi. Masalah ini lebih terkenal dengan sebutan umariyatain, atau garibatain. Disebut demikian karena sangat jarang terjadi.
2)   Mengenai warisan gharawain, para fuqaha berpendapat sebagaimana yang dikemukakan Umar ra. yaitu memberikan bagian untuk ibu sebesar 1/3 sisa harta peninggalan setelah dikurangi bagian suami atau istri.
3)   Masalah gharawain terjadi jika ahli waris terdiri dari suami atau istri, ibu dan ayah. Dalam hal ini ibu tidak mendapat 1/3 dari keseluruhan harta sebagaimana ketentuan QS. An-Nisa ayat 11. tetapi ibu memperoleh 1/3 dari sisa setelah diambil oleh bagian suami atau istri.
4)   Kata gharawain sendiri berarti dua bintang yang cemerlang.  Yang memutuskan masalah ini adalah Umar bin Khattab dan mendapat dukungan mayoritas sahabat.
Adapun pembagiannya sebagai berikut :
Masalah I : (terdiri dari suami, ayah, dan ibu)
Suami mendapat 1/2                                    = 3/6
Ibu mendapat 1/3 sisa = 1/3 dari 3/6            = 1/6
Ayah mendapat Ashabah                             = 2/6
         Jumlah                                                 = 6/6
Masalah II
Isteri mendapat 1/4                                      = 1/4
Ibu mendapat 1/3 dari 3/4                            = 1/4
Ayah mendapat Ashabah                             = 2/4
            Jumlah                                              = 4/4


Masalah musyarakah :
Musyarakah adalah bergabungnya ahli waris yang tidak mendapatkan bagian harta, kepada ahli waris lain yang mendapat bagian harta warisan. Masalah musyarakah terjadi jika ahli waris terdiri dari suami, ibu atau nenek perempuan, dua orang saudara seibu atau lebih dan saudara laki-laki kandung seorang atau lebih. Pada kaidah umum bahwa dua sdr. laki-laki sekandung menjadi ashabah binnafsi. Namun karena tidak mendapat sisa harta, karena telah dihabiskan ahli waris dzawil furudh, maka sdr. laki-laki sekandung bergabung dengan sdr. seibu atas nama saudara seibu dengan mendapatkan bagian 1/3. Menurut pembagian yang bisa maka :


NO
Ahli Waris
Bagian
AM= 12
1.
2.
3.
4.
suami
Ibu/nenek perempuan
1 sdr. seibu
2 sdr. laki-laki sekandung
1/2
1/6
1/3
1/3
1/2x 12   = 6   =  6/12 x jumlah harta
1/6 x 12  = 2   =  2/12 x jumlah harta
1/3 x 12  =4    =  2/12 x jumlah harta
                       =  2/12 x jumlah harta
Jumlah

                 =  12 =  2/12 x jumlah harta

Masalah musyarakah ini terkenal pula dengan Umariyah karena masalah musyarakah merupakan putusan (Umar bin Khattab ra.)

Masalah akhdariyah :
1)   Masalah akdariyah adalah kelanjutan dari masalah bertemunya kakek dan saudara dalam satu kelompok ahli waris.
2)   Dalam kasus waris akdariyah, semua ahli waris ditambah dengan suami yang menyebabkan bagian bersama kakek, saudara perempuan, dan ibu semakin kecil.
3)   Dalam masalah ini pula patut dipertimbangkan agar kakek tidak mendapatkan yang kecil.
Masalah akdariyah terjadi jika ahli waris terdiri dari : suami, ibu, kakek dan seorang saudara perempuan kandung, menurut kaidah umum maka pembagiannya sebagai berikut :


NO
Ahli Waris
Bagian
AM= 6       ‘Aul menjadi 9
1.
2.
3.
4.
suami
Ibu
Kakek
Sdr. pr sekandung
1/2
1/3
1/6
1/2 
½   x 6  = 3                     3/6 x jumlah harta
1/3 x 6  = 2                     2/6 x jumlah harta
1/6 x 6  = 1                     1/6 x jumlah harta
1/2 x 6  = 3                     3/6 x jumlah harta
Jumlah

             = 9                     9/9 x jumlah harta


Menurut pembagian di atas, kakek mendapat 1 bagian, sedangkan saudara perempuan sekandung mendapat 3 bagian. Menurut pembagian akdariyah yaitu pendapat Zaid bin Tsabit, bagian kakek ( 1 bagian ) dan bagian saudara kandung ( 3 bagian ) dijadikan satu yaitu ( 4 bagian ) dibagi bersama dengan ketentuan laki-laki mendapat 2 kali bagian perempuan.
Adapun pembagian menurut akdariyah adalah sbb:
NO
Ahli Waris
Bagian
AM= 6
1.
2.
3.

4.
suami
Ibu
Kakek

Sdr. perempuan sekandung
1/2
1/3
1/6

1/2
½   x 6  = 3                          3 x 3 = 9   
1/3 x 6  = 2                          2 x 3 = 6
1/6 x 6  = 1                                       8
                          = 4             4 x 3 = 12
1/2 x 6  = 3                                       4
Jumlah

            =  9/9                             27/27 


Keterangan : karena angka 4 tidak bisa dibagi 3( yaitu kakek 2, sdr. perempuan 1 ), maka angka 4 harus dikalikan 3 menjadi 12.

8.    Jelaskan bagian anak dalam kandungan dan orang hilang ?
Bagian anak dalam kandungan :
Islam mempunyai hukum yang sangat adil, yang tentunya adalah hukum dari Allah SWT. Anak yang masih dalam kandungan ibunya juga menjadi pertimbangan para ulama mengenai bagian warisan bagi anak yang masih dalam kandungan tersebut.
Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki beberapa persyaratan, yaitu :
1)   Dapat diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya pada waktu muwarisnya meninggal dunia.
2)   Bayi itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup, karena hanya orang yang hiduplah yang mempunyai keahlian memiliki pusaka. Adapun ciri keadaan hidupnya adalah ketika bayi itu dilahirkan dari perut ibunya dicirikan dari adanya jeritan (tangisan) atau gerakan, atau menetek pada payudara ibunya serta ditandai dengan tanda-tanda kehidupan lainnya.
3)   Dalam pembagian masalah ini, kita harus membagi harta pusaka secara bertahap, yaitu sebelum bayi lahir diadakan pembagian sementara, sedangkan pembagian sebenarnya ditangguhkan sampai bayi dilahirkan. Keadaan darurat semacam ini, memberi motivasi kepada para ahli figh untuk menyusun hukum secara khusus bagi anak yang ada dalam kandungan, yakni harta pusaka dibagi secara bertahap, sedapat mungkin berhati-hati demi kemaslahatan anak yang berada dalam kandungan.

Bagian orang hilang :
Para ahli Faraidl memberikan batasan atau arti mafqud ialah orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui kabar beritanya, tempat tinggalnya (domisilinya) dan tidak diketahui pula tentang hidup dan matinya. Pembahasan warisan orang hilang (mafqud) ini termasuk bagian miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai dengan cara / jalan perkiraan seperti waris khuntsa (wadam) dan waris anak dalam kandungan. Dalam masalah orang hilang (mafqud) ini, Ahmad Azhar Basyir, MA menyatakan bahwa kedudukan hukum orang hilang atau (mafqud) adalah dipandang (dianggap) hidup dalam hal-hal yang menyangkut hak-hak orang lain, sehingga dapat diketahui dengan jelas, mati atau hidupnya atau berdasarkan keputusan hakim tentang mati atau hidupnya. Akibat dari ketentuan tersebut adalah :
1)   Harta benda tidak boleh diwaris pada saat hilangnya, sebab mungkin dalam suatu waktu dapat diketahui ia masih hidup.
2)   Tidak berhak waris terhadap harta peninggalan kerabatnya yang meninggal dunia setelah mafqud meninggalkan tempat. Walaupun demikian karena kematian mafqud itu belum dapat diketahui secara pasti ia masih harus diperhatikan dalam pembagian waris. Seperti keadaan dalam kandungan.
3)   Bagian orang yang hilang (mafqud) disisihkan sampai dapat diketahui keadaannya masih hidup atau telah meninggal dunia atau keputusan hakim menyatakan telah meninggal dunia.
4)   Cara pembagian terhadap ahli waris yang ada diperhitungkan dengan perkiraan bahwa mafqud masih hidup. Misalnya, Ahli waris terdiri dari 2 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki mafqud, maka harta warisan dibagi 4 (empat). Satu bagian untuk masing-masing anak perempuan dan 2 (dua) bagian disimpan untuk anak laki-laki mafqud.

9.    Jelaskan tentang pembagian harta bersama ?
Pembagian harta bersama  :
1)   Sebagai orang Islam kita harus menjalankan syari’at Islam yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan as-Sunah. Apa yang diperintahkan harus dijalankan, sedangkan yang dilarang harus ditinggalkan.
2)   Demikian halnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan bagi yang berhak menerima, harus dijalankan agar tidak terjadi perselisihan. Karena orang yang tidak menjalankan perintah Allah SWT ( membagi harta warisan) akan dimasukkan kedalam neraka. Allah SWT. berfirman :
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’/4 : 14)

Rasulullah SAW juga memerintahkan agar kita membagi harta warisan sesuai dengan sabdanya : “Bagilah harta warisan antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah ( Al Qur’an)”. (H.R. Muslim dan Abu Dawud)

10.    Jelaskan hikmah pembagian warisan?
Hikmah pembagian warisan :
1.    Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal). Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara harta.
2.    Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.
3.    Menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar tetap utuh.
4.    Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah Alloh SWT yang harus dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak.
5.    Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan sosial.
6.    Melalui sistem waris dalam lingkup keluarga.
7.    Selain itu harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.
8.    Mewujudkan kemashlahatan umat islam.
9.    Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran, keadilan, dan kemashlahatan bagi umat manusia.
10.  Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam bermasyrakat.


WASIAT
1.    Jelaskan pengertian wasiat ?
Pengertian wasiat  :
1)   Kata Wasiat menurut bahasa memiliki beberapa arti, yaitu “menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”.
2)   Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bahwa yang disebutkan dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f).

Rukun Wasiat :
1)  Ada orang yang berwasiat.
2)  Ada yang menerima wasiat.
3)  Sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
4)  Lafaz (kalimat) wasiat.
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidak boleh lebih dari itu kecuali apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yag berwasiat itu meninggal.
Syarat-syarat orang yang dapat diserahi wasiat adalah:
1)  Beragama Islam.
2)  Sudah baligh.
3)  Orang yang berakal sehat.
4)  Orang yang merdeka.
5)  Amanah (dapat dipercaya).
6)  Cakap dalam menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh orang yang berwasiat.
Tata Cara Berwasiat :
Di dalam KHI Pasal 195 ayat (1) dinyatakan bahwa
Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua oramg saksi, atau dihadapan notaris.

2.    Jelaskan keterkaitan waris dengan wasiat ?
Keterkaitan waris dengan wasiat :
1)   Pengertian Wasiat
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dilaksanakan setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Misal orang yang menjelang mati berpesan terhadap orang lain (bukan ahli warisnya), bahwa ia (orang lain) itu akan mendapat sebagaian harta peninggalannya. Pelaksanaannya setelah yang berwasiat itu meninggal dunia, sebelum membagikan harta peninggalan kepada ahli warisnya. Wasiat tidak boleh ditujukan kepada orang yang termasuk ahli waris, hadits nabi :

عَنْ اَبِى أُمَمَةَ : سَمِعْتُ ص.م يَقُوْلُ إِنَّ اللهَ قَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِى حَقِّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثِ  (رواه الخمسة إلا النساء)
Dari Abu Umamah, beliau berkata, saya telah mendengar Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris, maka tidak ada hak wasiat”

2)   Hukum Wasiat
Wasiat hukumnya sunah, apabila tidak lebih dari sepertiga harta, tetapi bagi yang masih mempunyai kewajiban yang belum terpenuhi, umpamanya mempunyai hutang yang belum dibayar, atau zakat yang belum ditunaikan, maka wasiat wasiat mengenai hal-hal yang demikian hukumnya wajib.
Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris, sedangkan kepada ahli waris tidak syah kecuali apabila direlakan oleh ahli waris yang lainnya sesudah meninggalnya yang berwasiat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa harta warisan dibagikan setelah pelaksaaan wasiat.
“Sesudah dibayar wasiat yang diwasiatkannya.” (QS. An Nisa/4 : 11)

مَا حَقُّ إِمْرِى مُسْلِمٍ لَهُ شَيْئٌ يُرِيْدُ اَنْ يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ
“Tidak ada seorang muslim yang mempunyai sesuatu, yang pantas diwasiatkan sampai dua malam, melainkan hendaknya diwasiatnya tertulis di sisi kepalanya (HR. Saikhani dan lainnya)

Seyogyanya berwasiat itu dilakukan dan disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi yang adil, agar beres dikemudian hari. Wasiat dapat dibatalkan oleh orang yang berwasiat sebelum ia meninggal dunia.

3)   Rukun wasiat dan syarat – syaratnya
Rukun wasiat ada empat yaitu :
(1)     Orang yang berwasiat / Al Musi,
(2)     kepadanya mukallaf dan
(3)     kehendak  sendiri.
(4)   Yang menerima wasiat baik perorangan/ lembaga / Al Musa Lahu ,
syaratnya  :
(1)   Beragama Islam
(2)   Baligh atau dewasa
(3)   Berakal sehat
(4)   Merdeka atau bukan hamba sahaya
(5)   Dapat dipercaya (amanah)
(6)   Berkemampuan untuk melaksanakan wasiat
Jika pelaksana (yang menerima wasiat) ditentukan hendaknya diketahui orangnya, dan ia boleh dimiliki.
Sesuatu yang diwasiatkan / Al Musa bihi, syaratnya hendaknya yang dapat dipindahkan milik (ganti nama) dari seseorang kepada orang lain, tidak boleh untuk maksiat, tetapi harus untuk kemaslakatan umum, umpamanya untuk membangun masjid, madrasah, rumah yatim dan sebagainya.
Lafal / sighat, disyaratkan dengan kalimat yang dapat dimengerti untuk wasiat.

4)   Kadar Wasiat
Kadar besarnya sesuatu yang diwasiatkan sebesar-besarnya 1/3 dari harta orang yang berwasiat :
إِنَّ اللهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثٍ  اَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً فِى حَسَنَاتِكُمْ
“Sesungguhnya Allah SWT menganjurkan untuk bersedekah atasmu dengan sepertiga harta (pusaka) kamu, ketika menjelang wafatmu, sebagai tambahan kebaikanmu,”  (HR.Daruqutni dari Muadz bin Jabal)

5)   Macam-macam  Wasiat
Wasiat itu ada dua macam, yaitu :
Wasiat harta benda; seperti berwasiat harta pusaka.
Wasiat hak kekuasaan, yang akan dijalankan sesudah ia meninggal. Macamnya ada dua, yaitu
1)    Hak kekuasaan yang diwasiatkan berupa tanggung jawab, yang dapat dilaksanakan orang lainsecara bebas, tidak mempunyai kedudukan tertentu. Misalnya wasiat untuk kelanjutan pendidikan anaknya, wasiat membayar hutangnya, wasiat untuk mengembalikan barang pinjamannya.
2)  Hak kekuasaan yang diwasiatkan berupa tanggung jawab, yang pelaksanaan-nya pada orang tertentu, sesuai kedudukannya menurut ketentuan syari’at Islam. Seperti berwasiat perwalian nikah anak perempuan. Karena wali nikah sudah ada ketentuannya, mak berwasiat perwalian nikah tidak syah. Wasiat harta pusaka ada ketentuannya khusus, yaitu yang berhak menerima wasiat itu adalah orang yang bukan ahli waris. 

6)   Wasiat bagi Orang yang tidak Memiliki Ahli Waris
Jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta sedangkan ia tidak mempunyai seorang pun ahli waris maka seluruh hartanya diserahkan pada Baitul Mal atau lembaga lain yang sejenis.

3.    Jelaskan ketentuan wasiat dan hikmahnya ?
Ketentuan wasiat:
1)   Dalam menjalani ketentuan wasiat seseorang pada hartanya hanya dapat dipenuhi maksimal 1/3 total harta yang dimilikinya secara sempurna, setelah dikurangi berbagai kewajiban-kewajibannya, seperti penunaian hutang, pajak, dan juga zakatnya.   
2)   Rasululloh bersabda " Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak.
Dan ketika Sa'ad bin Abi Waqash sakit, ia bertanya kepada Nabi saw, Apakah aku boleh berwasiat 2/3 atau 1/2 dari harta yang dimiliki ? Rasululloh menjawab dalam haditsnya yang diriwayatkan Bukhari Muslim
"Tidak, saya bertanya lagi (bagaimana kalau) 1/3 ? Nabi menjawab "ya" 1/3, 1/3 itupun banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli waris dalam keadaan cukup itu lebih baik daripada engkau meninggalkan dalam keadaan papa dan harus meminta-minta kepada orang lain".

Dalam pembatasan pada angka 1/3 dimaksudkan untuk melindungi ahli waris dari hak-hak kewarisannya sekaligus mencegah terjadinya konflik akibat distribusi harta yang tidak merata.

Hikmah wasiat :
1)  Pembolehan pemberian wasiat atas harta menegaskan akan hak pemilik harta yang masih utuh
2)  Melakukan amal kebajikan dan amal jariya
3)  Jalan keluar untuk mendistribusikan harta kepada kaum kerabat
4)  Pembatasan wasiat sampai 1/3 untuk memberikan perlindungan kepada ahli waris.
5)  Kebaikan yang dimiliki mayat bertambah, berarti pahalanya bertambah.
6)  Membantu kelanjutan program mayat; sehingga tidak terbengkalai.
7)  Sebagai balas jasa dari mayat terhadap seseorang karena dianggap sebagai tulang punggung si mayat waktu masih hidup
8)  Melegakan hati orang yang diberikan wasiat, sehingga perasaan yang memungkin-kan merendahankan hati orang itu terhapus.
9)  Menertibkan dan mendamaikan masyarakat, terutama pada suatu keluarga.







3 komentar:

  1. Bolehkah minta fil Word nya ustadz?

    BalasHapus
  2. How to win on Lucky Club online casino site - Lucky Club
    When you land a slot machine bonus code and get to a point that is less than 1/2 odds, you're sure to get the bonus when you are playing on the luckyclub slot machine

    BalasHapus
  3. Graton Casino Hotel - Mapyro
    The Graton Casino 이천 출장마사지 Hotel is a 2.0-acre 순천 출장마사지 gaming-themed resort that 영주 출장마사지 includes a 210,000 square foot gaming space, 711 gaming 상주 출장샵 tables, over 상주 출장마사지 600 slot machines,

    BalasHapus