BAB I
MEMBINA KELUARGA
(MUNAKAHAT / PERNIKAHAN)
1.
Jelaskan
pengertian dan hukum pernikahan ?
Pengertian pernikahan
1)
Kata
Nikah (نِكَاحُ) atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa
Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (زَوْج). Nikah artinya suatu akad
yang menghalalkan pergaulan antara seseorang laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
2)
Dalam
pengertian yang luas, pernikahan adalah merupakan suatu ikatan lahir dan batin
antara dua orang laki-laki dan perempaun, untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga untuk mendapatkan keturunan yang dilaksanakan menurut
ketentuan syariat Islam.
3)
Pergaulan
antara laki-laki dan perempuan itu menjadi syah/halal jika sudah terikat tali
ikatan perkawinan. Tanpa adanya perkawinan, tidak akan pernah ada proses saling
melengkapi dalam kehidupan ini antara laki-laki dan perempuan.
Pengertian dan hukum pernikahan
Menurut jumhur ulama menetapkan bahwa hukum perkawinan dibagi menjadi
limamacam yaitu : Asal hukum pernikahan adalah
1) Hukum Sunah.Artinya seseorang yang telah mencapai kedewasaan jasmani dan
rohani dan sudah mempunyai bekal untuk menikah, tetapi tidak takut terjerumus
dalam perbuatan zina.
Firman Allah (QS. An Nur /24 :32) :
32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha mengetahui.
[1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita
yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Sabda Rasulullah :
Artinya : “Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin,
maka kawinlah,. Sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan,
dan barangsiapa tidak kuasa hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga
baginya (HR. Bukhari dan muslim)
2) Hukum mubah (boleh), yaitu bagi orang yang tidak mempunyai pendorong atau
faktor yang melarang untuk menikah.
3) Hukum wajib, jika seseorang yang dilihat dari pertumbuhan jasmaniyah sudah
layak untuk menikah, kedewasaan rohaniyahnya sudah matang dan memiliki biaya
untuk menikah serta untuk menghidupi keluarganya dan bila ia tidak menikah
khawatir terjatuh pada perbuatan mesum (zina).
4) Hukum Makruh hukumnya bagi seseorang yang dipandang dari pertumbuhan
jasmaniyahnya sudah layak, kedewasaan rohaniyahnya sudah matang tetapi tidak
mempunyai biaya untuk bekal hidup beserta isteri kemudian anaknya. Untuk
mengendalikan nafsunya dianjurkan untuk menjalankan puasa.
5)
Hukum Haram hukumnya bagi seseorang yang menikahi
wanita dengan tujuan untuk menyakiti, mempermainkan dan memeras hartanya.
2.
Sebutkan syarat dan rukun nikah ?
Syarat nikah :
1) Calon suami syaratnya menurut ketentuan syari’at Islam adalah : beragama
Islam, jelas bahwa ia laki-laki, atas keinginan dan pilihan sendiri (tidak
terkena paksaan), tidak beristri empat (termasuk istri yang telah dicerai
tetapi dalam masa iddah / waktu tunggu), tidak mempunyai hubungan mahram
dengan calon isteri, tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan
calon isterinya, mengetahui bahwa calon isteri itu tidak haram baginya dan
tidak sedang berihram haji atau umrah.
2) Calon istri yang akan dinikahi syaratnya adalah :beragama Islam,
jelas bahwa ia seorang perempuan, telah mendapat ijin dari walinya, tidak
bersuami dan tidak dalam masa iddah, tidak mempunyai hubungan mahram dengan
calon suami, belum pernah di li’an (dituduh zina) oleh calon suaminya, jika ia
perempuan janda, harus atas kemauan sendiri, bukan karena dipaksa oleh siapapun,
jelas ada orangnya dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
3) Wali, syaratnya : laki-laki, beragama Islam, sudah baligh, berakal, merdeka
(bukan budak), adil dan tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah.
4) Dua orang saksi, syaratnya : dua orang laki-laki, beragama islam, baligh,
berakal, merdeka dan adil, bisa melihat dan mendengar, memahami bahasa yang
digunkan dalam akad, tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah dan hadir
dalam ijab qabul.
5) Ijab dan qabul. Ijab yaitu ucapan wali (dari pihak permpuan) atau wakilnya
sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Sedangkan qabul
yaitu ucapan pengantin laki-laki atau wakilnya sebagai tanda penerimaan.Adapaun
syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut :
(1) Menggunakan
kata yang bermakna menikah ( النَّكَاحُ) atau mengawinkan baik bahasa Arab
ataupun padanan kata itu dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah sang
pengantin.
(2) Lafadz ijab
qabul diucapkan pelaku akad nikah
(3) Antara ijab
dan qaul harus bersambung tidak boleh diselingi perkataan atau perbuatan lain.
(4) Pelaksanaan
ijab dan qabul harus berada pada satu tempat tidak dikaitkan dengan suatu
persyaratan apapun
(5) Tidak
dibatasi dengan waktu tertentu.
Rukun nikah :
Adapun rukun nikah ada lima macam, yaitu : calon
suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan ijab qabul.
3.
Jelaskan
pengertian dan hukum khitbah ?
Pengertian khitbah
Khitbah/pingangan yaitu melamar untuk menyatakan
permintaan atau ajakan untuk mengikat perjodohan, dari seorang laki-laki kepada
seorang perempuan sebagai calon isterinya.
Pengertian
dan hukum khitbah
Lamaran atau pinanangan bukan sesuatu yang menjadi
wajib hukumnya. Hal ini menurut pendapat jumhur ulama’ yang didasarkan pada
pinangan nikah yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw. Tetapi Dawud berpendapat
bahwa pinangan hukumnya wajib.
Dalil yang membolehkan pinangan sebagaimana
firmanAllah SWT :
Artinya : “Dan tak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau harus menyembunyikan keinginan
mengawini mereka dalam hatimu … “(QS. Al Baqarah /2: 235)
4.
Jelaskan
pengertian dan pembagian mahram nikah ?
Pengertian mahram nikah :
1) Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi.
Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya
terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
2) Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor
famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita
tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram
dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari
suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah
agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda,
3) Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram
yang bersifat permanen, antara lain :
(1) Kebolehan berkhalwat (berduaan)
(2) Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal
ditemani mahramnya.
(3) Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala,
rambut, tangan dan kaki.
Ayat-ayat Tentang Kemahraman
Di Dalam Al-Quran :
1) Daftar mahram menurut (QS. An-Nisa :
23) : Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram
dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat
tertentu dari wanita. Mereka adalah :
(1) Ibu kandung
Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian tertentu dari auratnya di hadapan anak-anak kandungnya.
Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian tertentu dari auratnya di hadapan anak-anak kandungnya.
(2) Anak-anakmu yang perempuan
Jadi wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan ayah kandungnya.
Jadi wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan ayah kandungnya.
(3) Saudara-saudaramu yang perempuan,
Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan saudara laki-lakinya.
Jadi seorang wanita boleh kelihatan sebagian dari auratnya di hadapan saudara laki-lakinya.
(4) Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara laki-lakinya. Dalam bahasa kita berarti keponakan.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara laki-lakinya. Dalam bahasa kita berarti keponakan.
(5) Saudara-saudara ibumu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara wanitanya. Dalam bahasa kita juga berarti keponakan.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anak saudara wanitanya. Dalam bahasa kita juga berarti keponakan.
(6) Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ayah.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ayah.
(7) Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ibu.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan paman, dalam hal ini adalah saudara laki-laki ibu.
(8) Ibu-ibumu yang menyusui kamu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan seorang laki-laki yang dahulu pernah disusuinya, dalam hal ini disebut anak susuan.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan seorang laki-laki yang dahulu pernah disusuinya, dalam hal ini disebut anak susuan.
(9) Saudara perempuan sepersusuan
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang dahulu pernah pernah menyusu pada wanita yang sama, meski wanita itu bukan ibu kandung masing-masing. Dalam hal ini disebut saudara sesusuan.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang dahulu pernah pernah menyusu pada wanita yang sama, meski wanita itu bukan ibu kandung masing-masing. Dalam hal ini disebut saudara sesusuan.
(10) Ibu-ibu isterimu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami dari anak wanitanya. Dalam bahasa kita, dia adalah menantu laki-laki.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami dari anak wanitanya. Dalam bahasa kita, dia adalah menantu laki-laki.
(11) Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri,
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami ibunya (ayah tiri) tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu sudah bercampur dengan ibunya.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi suami ibunya (ayah tiri) tetapi dengan syarat bahwa laki-laki itu sudah bercampur dengan ibunya.
(12) Isteri-isteri anak kandungmu
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi ayah dari suaminya. Dalam bahasa kita adalah mertua laki-laki.
Jadi seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang menjadi ayah dari suaminya. Dalam bahasa kita adalah mertua laki-laki.
2) Daftar mahram menurut (QS An-Nuur : 31) : Dari Ayat ini juga berbicara
tentang siapa saja orang yang boleh melihat sebagian aurat wanita yang dalam
hal ini juga berstatus sebagai mahram. Orang-orang yang disebutkan dalam ayat
ini ada yang sudah disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 23 dan ada pula yang
belum. Yang sudah disesutkan antara lain adalah ayah, anak, saudara laki-laki
dan anak saudara laki-laki. Selebihnya belum disinggung. Mereka adalah :
(1) Suami
Bahkan seorang wanita bukan hanya boleh terlihat sebagian auratnya tetapi seluruh auratnya halal bila terlihat.
Bahkan seorang wanita bukan hanya boleh terlihat sebagian auratnya tetapi seluruh auratnya halal bila terlihat.
(2) Ayah
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan ayahnya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [2]
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan ayahnya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [2]
(3) Ayah suami
Dalam bahasa kita adalah mertua. Yaitu ayahnya suami seorang wanita.
Dalam bahasa kita adalah mertua. Yaitu ayahnya suami seorang wanita.
(4) Putera atau anak
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anaknya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [2]
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan anaknya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [2]
(5) Putera-putera suami
Dalam bahasa kita maksudnya adalah anak tiri, dimana seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang statusnya anak tiri. 6. Saudara-saudara laki-laki. Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan saudara laki-lakinya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [3]
Dalam bahasa kita maksudnya adalah anak tiri, dimana seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan laki-laki yang statusnya anak tiri. 6. Saudara-saudara laki-laki. Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan saudara laki-lakinya telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [3]
(6) putera-putera saudara lelaki
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan putera saudara laki-lakinya (keponankan) telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [4]
Bahwa seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya di hadapan putera saudara laki-lakinya (keponankan) telah dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 23 pada poin nomor [4]
(7) Putera-putera saudara perempuan
Dalam bahasa kita maksudnya adalah keponakan dari kakak atau adik wanita.
Dalam bahasa kita maksudnya adalah keponakan dari kakak atau adik wanita.
(8) Wanita-wanita Islam
Jadi bila sesama wanita yang muslimah, seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya, Tetapi tidak boleh terlihar seluruhnya. Karena satu-satunya yang boleh melihat seluruh aurat hanya satu orang saja yaitu orang yang menjadi suami. Sedangkan sesama wanita tetap tidak boleh terlihat seluruh aurat kecuali ada pertimbangan darurat seperti untuk penyembuhan secara medis yang memang tidak ada jalan lain kecuali harus melihat. Adapun wanita yang statusnya bukan Islam seperti Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu atau ateis, maka seorang wanita musimah diharamkan terlihat auratnya meski hanya sebagian. Karena itu buat para wanita muslimah yang tinggal bersama di sebuah asrama atau di rumah kost, pastikan bahwa wanita yang tinggal bersama anda muslimah semuanya. Karena kalau ada yang bukan muslimah, anda tetap diwajibkan menutup aurat seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sebagaimana di depan laki-laki non mahram. Begitu juga bila masuk ke kolam renang khusus wanita, pastikan bahwa semua pengunjungnya adalah wanita dan agamanya harus Islam.
Jadi bila sesama wanita yang muslimah, seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya, Tetapi tidak boleh terlihar seluruhnya. Karena satu-satunya yang boleh melihat seluruh aurat hanya satu orang saja yaitu orang yang menjadi suami. Sedangkan sesama wanita tetap tidak boleh terlihat seluruh aurat kecuali ada pertimbangan darurat seperti untuk penyembuhan secara medis yang memang tidak ada jalan lain kecuali harus melihat. Adapun wanita yang statusnya bukan Islam seperti Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu atau ateis, maka seorang wanita musimah diharamkan terlihat auratnya meski hanya sebagian. Karena itu buat para wanita muslimah yang tinggal bersama di sebuah asrama atau di rumah kost, pastikan bahwa wanita yang tinggal bersama anda muslimah semuanya. Karena kalau ada yang bukan muslimah, anda tetap diwajibkan menutup aurat seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan sebagaimana di depan laki-laki non mahram. Begitu juga bila masuk ke kolam renang khusus wanita, pastikan bahwa semua pengunjungnya adalah wanita dan agamanya harus Islam.
(9) Budak-budak yang mereka miliki
Di masa perbudakan, seorang wanita masih dibolehkan terlihat auratnya di hadapan budak yang dimilikinya. Tapi di masa kini, sopir dan pembantu sama sekali tidak bisa dianggap sebagai budak, karena mereka adalah orang merdeka.
Di masa perbudakan, seorang wanita masih dibolehkan terlihat auratnya di hadapan budak yang dimilikinya. Tapi di masa kini, sopir dan pembantu sama sekali tidak bisa dianggap sebagai budak, karena mereka adalah orang merdeka.
(10) Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
Yang dimaksud adalah pelayan atau pembantu yang sama sekali sudah mati nafsu birahi baik secara alami atau karena dioperasi. Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa ada perbedaan pendapat dalam memahami maksud ayat in dalam beberapa makna :
Yang dimaksud adalah pelayan atau pembantu yang sama sekali sudah mati nafsu birahi baik secara alami atau karena dioperasi. Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa ada perbedaan pendapat dalam memahami maksud ayat in dalam beberapa makna :
(11) Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
- Mereka adala orang yang bodoh/pandir yang tidak memiliki hasrat terhadap
wanita.
- Mereka adalah orang yang mengabdikan hidupnya pada suatu kaum (harim) yang
tidak memiliki hasrat terhadap wanita.
- Mereka adalah orang yang impoten total.
- Mereka adalah orang yang dipotong kemaluannya,
- Mereka adalah orang yang waria yang tidak punya hasrat kepada wanita.
- Mereka adalah orang yang tua renta yang telah hilang nafsunya
Pembagian mahram nikah :
Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para ulama
membaginya menjadi tiga klasifikasi besar :
1. Mahram Karena
Nasab
- Ibu kandung
dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
- Anak wanita
dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
- Saudara
kandung wanita.
- Ammat / Bibi
(saudara wanita ayah).
- Khaalaat /
Bibi (saudara wanita ibu).
- Banatul Akh
/ Anak wanita dari saudara laki-laki.
- Banatul Ukht
/ anak wnaita dari saudara wanita.
2. Mahram Karena
Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan
- Ibu dari
istri (mertua wanita).
- Anak wanita
dari istri (anak tiri).
- Istri dari
anak laki-laki (menantu peremuan).
- Istri dari
ayah (ibu tiri).
3. Mahram Karena
Penyusuan
- Ibu yang
menyusui.
- Ibu dari
wanita yang menyusui (nenek).
- Ibu dari
suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).
- Anak wanita
dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).
- Saudara
wanita dari suami wanita yang menyusui.
- Saudara
wanita dari ibu yang menyusui.
Penjelasan mahram
nikah :
Mahram adalah
seseorang, baik laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi. Adapaun
sebab-sebab yang menjadikan seorang perempuan menjadi haram dinikahi oleh
seseorang laki-laki dapat dabagi menjadi dua yaitu haram dinikahi untuk
selamanya dan haram dinikahi yang bersifat sementara, sebagaimana pembahasan
berikut di bawah ini.
1) Sebab haram
dinikah untuk selamanya, dibagi menjadi empat macam yaitu haram sebab nasab,
sebab pertalian nikah, sebab sepersusuan dan wanita yang telah dili’an. Adapun
pembahasannya sebagai berikut :
(1) Wanita-wanita
yang haram dinikahi karena nashab. Mereka adalah sebagai berikut : Ibu, Nenek,
Anak perempuan, Anak perempuan dari anak laki-laki, Saudara perempuan,Bibi dari
jalur ayah, Bibi dari jalur ibu, Anak perempuannya saudara laki-laki, Anak
perempuannya anak laki-laki.
“Diharamkan atas kalian
(menikahi) ibu-ibu kalian, naka-anak perempuan kalian, saudara-saudara
perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, (bibi jalur ayah),
saudara-saudara permpuan ibu kalian (bibi daru jalur ibu) anak-anak
perempuannya saudara-saudara laki-laki kalian, anak-anak perempuannya saudara
perempuan kalian “ (Q.S. An Nisa /4: 23)
(2) Wanita-wanita
yang haram dinikahi sebab pertalian nikah, mereka adalah sebagai berikut :
Isteri ayah dan Istri kakek. Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu
kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”(QS. An Nisa/4 :
22)
Kemudian Ibu Istri (ibu mertua) dan nenek ibu istri,
Anak perempuan istri (anak perempuan tiri). Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah
dikawini oleh ayahmu (QS.An Nisa/4: 22).
(3) Wanita-wanita
yang haram dinikahi karena sepersusuan. Mereka adalah sebagai berikut : Ibu-ibu
yang diharamkan dinikahi karena sebab nashab, Anak-anak perempuan,
Saudara-saudara perempuan, bibi dari jalur ayah, bibi dari jalur
ibu, Anak perempuannya saudara laki-laki dan Anak perempuannya saudara
perempuan.
(4) Wanita
yang telah di li’an
Suami haram menikahi wanita yang telah dili’annya
untuk selama-lamanya, karena Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “ Suami Isteri yang telah melaknat, jika
keduanya telah cerai maka tidak boleh menikahi lagi selama-lamanya” (HR.
Abu Dawud)
2) Sebab Haram dinikah sementara
Haram dinikahi sementara maksudnya adalah seorang
perempuan menjadi haram dinikahi oleh seorang laki-laki dalam waktu tertentu.
Bila sebab itu tidak ada lagi perempuan tersebut boleh dinikahi, sebab-sebab
tersebut dibagi menjadi lima macam yaitu ; sebab pertalian nikah, thlaq
bain kubra, memadu dua orang bersaudara, beristri lebih dari empat orang dan
berbeda agama.
(1) Sebab
Pertalian Nikah
Perempuan yang masih ada dalam ikatan perkawinan,
haram dinikah dengan laki-laki lain, termasuk perempuan yang masih ada dalam
massa idah baik iddah talak maupun iddah wafat : Allah SWT berfirman :
Artinya : “Janganlah kamu bertekad untuk
melangsungkan akad nikah dengan perempuandalam iddah wafat sebelum iddahnya
habis”. (QS. Al Baqarah/4 : 235)
(2) Sebab Thalaq Bain Kubra (perceraian sudah
tiga kali)
Thalaq bain kubra adalah thalaq tiga. Sorang laki-laki
yang mencerai isteri dengan thalaq tiga, haram baginya untuk menikah dengan
mantan isterinya itu selama mantan isteri itu belum kawin dengan laki-laki
lain. Jelasnya ia boleh menikah lagi dengan mantan isterinnya dengan syarat
mantan istri itu : telah menikah dengan laki-laki lain (suami baru),dicampuri
oleh suami baru , telah dicerai suami baru, dan habis masa iddah.
Allah berfirman :
“Selanjutnya jika suami
mencerainya (untuk ketiga kalinya), perempuan tidak boleh dinikahi lagi olehnya
sehingga ia menikah lagi dengan suami lain. Jika suami yang baru telah
mencerainya, tidak apa-apa mereka (mantan suami isteri) menikah lagi jika
keduanya optimis melaksanakan hak masing-masing sebagaimana ditetapkan oleh
Allah SWT (Al- Baqarah/2 : 230)
(3) Sebab memadu dua orang perempuan bersaudara.
Seorang laki-laki yang mempunyai pertalian nikah
dengan seorang perempuan (termasuk dalam masa iddah talak raj’i) haram baginya
menikah dengan :
a) Saudara
perempuan isterinya, baik kandung seayah maupun seibu
b) Saudara
perempuan ibu isterinya (bibi istri) baik kandung seayah ataupun kandung seibu
dengan ibu isterinya.
c) Saudara
perempuan bapak isterinya (bibi isterinya) baik kandung seayah atupun seibu
dengan bapak isterinya.
d) Anak
perempuan saudara permpuan isterinya (kemenakan isterinya) baik kandung seayah
maupun seibu
e) Anak
perempuan saudara laki-laki isterinya baik kandung seayah maupun seibu
f) Semua
perempuan yang bertalian susuan dengan isterinya Allah SWT berfirman:
“Diharamkan bagimu memadu dua orang permpuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. (QS. An
Nisa/4 : 23)
(4) Sebab beristri lebih dari empat orang.
Seorang laki-laki yang beristri lebih dari empat
orang, haram lagi menikah dengan perempuan yang kelima. Seorang laki-laki boleh
memperistri perempuan maksimal empat. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah
SWT. dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ : 3
(5) Sebab Perbedaan Agama
Mahram nikah karena perbedaan agama, ada dua
macam yaitu perempuan musyrik haram dinikahi laki-laki muslim dan
perempuan muslimah haram dinikahi laki-laki non muslim, yaitu orang musyrik
atau penganut agama selain islam.
5.
Jelaskan
macam-macam pernikahan terlarang ?
Macam-macam
pernikahan terlarang :
Nikah terlarang maksudnya pernikahan yang tidak diperbolehkan dalam agama
Islam, karena sesuatu sebab yang lain atau perbuatan tersebut bukan merupakan
ajaran Islam.Adapun macam-macam pernikahan yang dilarang dalam agama Islam
adalah :
1) Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan
semata-mata untuk melampiaskan hawa nafsu dan bersenang-senang untuk sementara
waktu. Nikah tersebut dilarang karena dilakukan untuk waktu yang terbatas dan
tujuannya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yang disyari’atkan. Nikah
mut’ah pernah diperbolehkan oleh Nabi Muhammaad SAW tetapi kemudian dilarang
untuk selamanya.
Dari Salah bin
Al Akwa ra ia berkata“Pernah Rasulullah SAW. membolehkan perkawinan mut’ah pada
hari peperangan Authas selama tiga hari. Kemudian sesudah itu ia dilarang.” ( H.R. Muslim )
2)
Nikah Syighar (kawin tukar)
Nikah sighar ialah wali bagi seorang perempuan menikahkan yang ia walikan
kepada laki-laki lain tanpa mas kawin, dengan pernjanjian bahwa laki-laki itu
akan memberikan imbalan, yaitu mau mengawinkan wanita di bawah perwaliannya.
Misalnya Amir menikahkan anaknya bernama Fatimah dengan Imran tanpa mahar harta
benda, dengan perjanjian Imran mau menikahkan wanita dibawah perwaliannya kepada
si Amir tanpa mahar. Yang dijadikan mahar adalah kemaluan masing-masing dari
kedua wali tersebut. Malik berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak
disyahkan selamanya, dan harus dibatalkan, baik sesudah atau sebelum terjadi
pergaulan ( dukhul ).
Artinya : “Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi SAW melarang syighar dalam akad
pernikahan. Syighar ialah mengawinkan seseorang dengan anak perempuannya akan
tetapi dalam pertunangan kedua mempelai tidak disertai dengan mas kawin” (HR. Bukahri muslim)
3)
Nikah Muhallil ( Nikah untuk menghalalkan )
Nikah muhallil ialah nikah yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk
menghalalkan perempuan yang dinikahinya bagi bekas suaminya yang telah
menthalaq tiga, untuk kawin lagi. Nikah tersebut dilarang karena tujuannya tidak
sesuai dengan tujuan pernikahan yang sebenarnya. Perempuan yang telah dithalak
tiga, tidak boleh kawin lagi dengan bekas suaminya yang telah menthalak tiga
itu, kecuali kalau perempuan tersebut sudah kawin dengan laki-laki lain, bukan
untuk tujuan menghalalkan dinikahi oleh bekas suaminya yang pertama, telah
dicampuri, dicerai oleh suami yang kedua dan baru boleh dinikah kembali.
Diantara dalil
yang melarang nikah muhallil :
“Dari Ibnu Mas’ud RA. Berkata : telah mengutuki
Rasulullah SAW. terhadap orang yang laki-laki yang menghalalkan dan yang
dihalalkan “ ( H.R. Tirmidzi dan Nasa’i )
4) Muhallil adalah laki-laki yang menikahi perempuan dengan maksud
menghalal-kan perempuan itu bekas suaminya yang telah menthalak tiga, untuk
kawin lagi. Muhallahu adalah bekas suami yang telah menthalak tiga itu.
5)
Nikah beda Agama
Maksudnya adalah laki-laki muslim dilarang menikahi perempuan non muslim
atau sebaliknya wanita muslimah dilarang dinikahi laki-laki non muslim.
Sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã ....4 ÇËËÊÈ
Artinya : “Jangan nikah perempuan-perempuan musyrik (kafir) sehingga mereka
beriman, sesunguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik dari perempuan
musyrik, meskipun ia menarik hatimu (karena kecantikannya) janganlah kamu
nikahkan perempuan muslimah dengan laki-laki musyrik sehingga ia beriman.” (QS. AL Baqarah/2 : 221) .
6.
Sebutkan
ketentuan dan macam-macam wali ?
Ketentuan dan macam-macam wali :
a.
Macam
Tingkatan Wali
Wali nikah terbagi mnjadi dua macam yaitu wali
nashab dan wali hakim.
1) Wali nashab adalah wali dari pihak kerabat, artinya wali yang mempunyai pertalian
darah atau keturunan dengan perempuan yang akan dinikahkannya. Wali nasab
ditinjau dari dekat dan jauhnya dengan mempelai wanita dibagi menjadi dua,
yaitu
(1) wali akrab ( lebih dekat hubungannya dengan mempelai perempuan ) dan
(2) wali ab’ad ( wali yang lebih jauh hubungannya dengan mempelai perempuan ).
Di bawah ini susunan wali nasab sebagai berikut :
1) Ayah
2) Kakek
dari pihak bapak
3) Saudara laki-laki kandung
4) Saudara
laki-laki sebapak
5) Anak
laki-laki saudara laki-laki kandung
6) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
7) Paman (saudara bapak) sekandung
8) Paman
(saudara bapak) sebapak
9) Anak
laki-laki dan paman kandung
10) Anak
laki-laki dari paman laki-laki
11) Hakim
2) Wali hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah
dalam keadaan tertentu dengan sebab tertentu pula. Dengan kata lain wali hakim
ialah pejabat negara yang beragama Islam dan dalam hal ini biasanya kekuasaanya
di Indonesia dilakukan oleh Kepala Pengadilan Agama, ia dapat mengangkat orang
lain menjadi hakim (biasanya yang diangkat Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan) untuk mengakadkan nikah perempuan yang berwali hakim. Sebagaimana
sabda Rasulullah :
Artinya : “Dari ‘Aisyah ra. ia berkata : “Rasulullah SAW bersabda, siapapun
perempuan yang menikah dengan tidak seijin walinya maka batallah pernikahannya,
dan jika ia telah disetubuhi, maka bagi perempuan itu berhak menerima mas
kawin lantaran ia telah menghalalkannya kemaluannya, dan jika terdapat
pertengkaran antara wali-wali, maka sultanlah yang menjadi wali bagi yang tidak
mempunyai wali (HR. Imam yang empat kecuali Nasa’i)
Adapun sebab-sebab berpindahnya wewenang wali nasab kepada wali hakim,
adalah apabila wali nasab:
1) Tidak
ada wali nashab
2) Tidak
cukup syarat wali bagi yang lebih dekat dan wali yang lebih jauh tidak ada
3) Wali
yang lebih dekat ghaib
4) Wali
yang lebih dekat sedang melakukan ihram / ibadah haji
5) Wali
yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai
6) Wali
yang lebih dekat adal menikahkan, yaitu tidak mau menikahkan
7) Wali
yang lebih dekat tawari, yaitu sembunyi-sembunyi karena tidak mau menikahkan
8) Wali
yang lebih dekat ta’azzuz, yaitu bertahan, tidak mau menikahkan
9) Wali
yang lebih dekat mufqud, yaitu hilang tidak diketahui tempatnya dan tidak
diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula hidup dan matinya.
b. Wali Mujbir
Di samping ada wali nasab dan wali hakim masih ada wali mujbir yaitu wali yang
berhak menikahkan anak perempuannya yang sudah baligh, berakal dari gadis untuk
dinikahkan, dengan tiada meminta ijin terlebih dahulu kepada anak perempuan
tersebut. Dalam hal ini hanya bapak dan kakek yang dapat menjadi wali mujbir.
Kebolehan bapak dan kakek menikahkan anak perempauannya tanpa minta ijin
terlebih dahulu padanya adalah dengan syarat-syarat :
1) Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis
tersebut
2) Sekufu’ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya
3) Calon suami itu mampu membayar mas kawin
4) Calon suami tidak cacat.
c. Wali
Adhal
Wali adhal ialah wali yang tidak mau menikahkan anaknya, karena
alasan-alasan tertentu yang menurut walinya itu tidak disetujui adanya
pernikahan anaknya atau cucunya dengan calon suami karena tidak sesuai dengan
kehendak walinya, padahal wanita yang hendak menikah itu berakal sehat dan
calon suami juga dalam keadaan sekufu. Apabila terjadi hal seperti tersebut
diatas, maka perwalian itu pindah langsung pada wali hakim, sebab adhal itu
zalim sedang yang dapat menghilangkan kezaliman adalah hakim.
Artinya : “Kalau (wali-wali itu) enggan (menikahkan) maka hakim menjadi
wali perempuan yang tidak mempunyai wali”
(HR. Abu Daud, Turnmudzi dan Ibnu Hiban).
Apabila adhalnya sampai tiga kali, maka perwaliannya pindah pada wali ab’ad
bukan wali hakim. Kalau adhalnya itu karena sebab yang logis menurut
hukum Islam, maka tidak disebut adhal seperti : wanita itu nikah dengan pria
yang tidak sekufu, maharnya di bawah mahar misil dan wanita itu dipinang oleh
laki-laki yang lebih pantas daripada pinangan pertama itu.
7.
Jelaskan
hukum dan macam-macam mahar ?
Pengertian dan hukum
mahar
1) Mahar atau mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada isteri sebab
pernikahan. Bisa berupa uang, benda, perhiasan, atau jasa seperti mengajar Al
Qur’an.
2) Membayar mahar hukumnya wajib bagi laki-laki yang menikah dengan seorang
perempuan, karena termasuk syarat nikah, tetapi menyebutkannya dalam akad nikah
hukumnya sunat. Dan makruh tidak menyebut mas kawin diwaktu akad nikah.
Mahar hukumnya wajib, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Bayarkanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai
pemberian hibah/tanda cinta (QS. An Nisa4: 4)
Macam-macam mahar ada dua, yaitu :
1) Mashar Musamma yaitu mahar yang disebutkan jenis dan jumlahnya pada
waktu akad nikah berlangsung
2) Mahar Mitsil yaitu mahar yang jenis atau kadarnya diukur sepadan
dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat dengan melihat status
sosial, umur, kecantikan, gadis atau janda. Untuk mengukur mahar mitsil seorang
wanita, maka yang dilihat dahulu adalah mahar saudara perempuan seibu sebapak,
lalu saudara perempuan seayah, lalu anak perempuan saudara lelaki, lalu bibi
dari pihak ayahnya dan seterusnya. Mitsil artinya sama. Kalau mahar saudara
perempuan seayah seibu dulu waktu nikah, maharnya 50 gram emas, maka mahar
mitsil perempuan yang nikah juga sama 50 gram emas.
8.
Jelaskan hukum walimah dan hikmahnya ?
Pengertian walimah :
1) Walimah berasal dari kata walm yang artinya ikatan atau pertemuan.
2) Walimah dalam bahasa arab disebut walimatul ‘Urs atau pesta pernikahan
adalah pesta yang diselenggarakan setelah akad nikah dengan menghidangkan
jamuan kepada para undangan, sebagai pernyataan rasa syukur atas nikmat dan
karunia Allah SWT. Pesta pernikahan disebut walimah karena diadakan sehubungan
dengan terjadinya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan.
Hukum walimah :
1) Hukum menyelenggarakan Walimah ‘Urs
Jumhur ulama berpendapat bahwa mengadakan walimah ‘urs
hukumnya sunah muakad, berdasarkan sabda Rasulullah :
“Rasulullah SAW. Bersabda kepada Abdurrahman bin auf :
“ Adakanlah pesta walaupun hanya memotong seekor kambing“ ( H.R. Mutafaqun ‘Alaihi )
Di samping walimah ‘urs terdapat berbagai macam
walimah terkait dengan suatu peristiwa atau kegiatan seperti
(1) walimah aqiqah yaitu walimah karena kelahiran anak,
(2) walimah wakirah yaitu walimah untuk mendirikan bangunan,
(3) walimah I’dzar yaitu walimah karena khitan,
(4) walimah naqi’ah yaitu walimah karena pulang dari bepergian dan
sebagainya.
Menyelengarakan walimah adalah sangat penting,
walaupun diadakan dengan sederhana.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menyelenggarakan walimah yaitu niat syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang
telah diberikan oleh-NYA, jangan berlebih-lebihan atau tidak memaksakan diri
serta harus disesuaikan dengan keadaan, jangan membeda-bedakan antara orang
kaya dan miskin.
2) Hukum menghadiri Walimah
Hukum menghadiri walimah adalah wajib, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Rasulullah SAW bnersabda : Jika salah seorang d antaramu diundang untuk
menghadiri suatu pesta, hendaklah ia menghadirinya “ ( Mutafaqun ‘Alaihi ).
Oleh karena menghadiri walimatul ‘urs wajib, maka meninggalkannya adalah
berdosa. Hal tersebut berdasarkan Sabda Rasulullah SAW. :
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda : “Barang siapa
yang meninggalkan undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan
Rasulnya ( Mutafaqun ‘Alaihi )
Hikmah Walimah :
1) Menyiarkan
pernikahan karena sunah hukumnya dan berusaha menghindari nikah sirri ( rahasia
)
2) Mengungkapkan
rasa gembira dalam menikmati kebaikan.
3) Agar
pernikahan diketahui oleh orang banyak.
4) Memberikan
rangsangan segera menikah kepada orang yang suka membujang.
9.
Jelaskan hikmah pernikahan ?
Hikmah pernikahan :
Adapun hikmah
yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
1) Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia
dengan jalan berkembang biak dan berketurunan.
2) Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan
nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang
diharamkan.
3) Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn
cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
4) Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
Allah
SWT berfirman :
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ”(Ar-ruum,21)
Efek Hukum dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun Khulu’ adalah talak ba'in shughra (talak ba'in kecil).
KETENTUAN
PERNIKAHAN DALAM PERUNDANGAN
1.
Jelaskan tentang batasan umur pernikahan ?
Batasan umur pernikahan :
Dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974, perkawinan ialah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang
dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, hubungan mana mengikat
kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan yang
tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang
mengikat kedua pihak saja.
Syarat-syarat
perkawinan (pasal 6)
Menurut ayat (1)
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai artinya, kedua mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai juga dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Menurut ayat (2)
Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin kedua orang tua.
Menurut ayat (1)
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai artinya, kedua mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai juga dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Menurut ayat (2)
Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin kedua orang tua.
Menurut
ayat (6)
Ketentuan menurut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Ketentuan menurut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Batas
usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU ini diatur dalam pasal 7
ayat (1) yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika ada
penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) ini, dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita (pasal 7 ayat 2).
2.
Jelaskan tentang kedudukan pencatatan
pernikahan ?
Kedudukan pencatatan pernikahan :
Dasar Hukum Pencatatan
Perkawinan
Landasan hukum keharusan adanya pencatatan perkawinan ini disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 pasal 2:
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975:
pasal 2 ayat (1):
“Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk”.
Pasal 11 ayat (3):
“Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi”
Pasal 13 ayat (2)
“Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan”.
Sementara Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan keharusan pencatatan perkawinan ini pada:
Pasal 5 ayat (1):
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
Pasal 5 ayat (2):
“Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954.”
Pasal 6:
(1) Untuk memenuhi ketentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 ayat (1):
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”
Dari beberapa ketentuan yang menjelaskan tentang kedudukan pencatatan perkawinan di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi pencatatan perkawinan dari segi hukum sudah sangat kuat sekali. Secara tegas dalam pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Landasan hukum keharusan adanya pencatatan perkawinan ini disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 pasal 2:
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975:
pasal 2 ayat (1):
“Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk”.
Pasal 11 ayat (3):
“Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi”
Pasal 13 ayat (2)
“Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan”.
Sementara Kompilasi Hukum Islam memuat ketentuan keharusan pencatatan perkawinan ini pada:
Pasal 5 ayat (1):
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.
Pasal 5 ayat (2):
“Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954.”
Pasal 6:
(1) Untuk memenuhi ketentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 ayat (1):
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”
Dari beberapa ketentuan yang menjelaskan tentang kedudukan pencatatan perkawinan di atas dapat disimpulkan bahwa eksistensi pencatatan perkawinan dari segi hukum sudah sangat kuat sekali. Secara tegas dalam pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
3.
Jelaskan hukum talaq di depan pengadilan
agama ?
Hukum talaq di depan pengadilan agama :
Gugatan perceraian itu dapat
diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi
kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI)
Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal
114 KHI yang berbunyi:
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”
Yang dimaksud tentang talak itu
sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal
129 KHI yang berbunyi:
“Seorang
suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk
keperluan itu.”
Jadi, talak yang diakui secara
hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan
Agama.
HUKUM PERCERAIAN
(TALAQ)
1.
Jelaskan pengertian
dan hukum perceraian (talaq) ?
Pengertian
perceraian (talaq)
:
Thalaq berasal dari
bahasa Arab yang diambil dari kata thalaqa-yuthliqu-thalaqan yang
semakna dengan kata thaliq yang bermakna al irsal atau tarku, yang berarti
melepaskan dan meninggalkan
Talaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan
antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.
Hukum perceraian (talaq) :
Menurut Imam Hambali dan Hanafi berpendapat
bahwa thalaq adalah terlarang, kecuali karena alasan yang benar. Sedangkan,
golongan Hambaliyah berpendapat bahwa thalaq hukumnya beragam: bisa wajib, sunnah, makruh,
haram, mubah.. Thalaq dibolehkan apabila suami meragukan
kebersihan tingkah laku isterinya, atau sudah tidak lagi mencintai istrinya.
1)
Talak
itu hukumnya wajib bila :
(1) Jika suami isteri tidak dapat didamaikan lagi
(2)
Dua orang wakil daripada pihak suami dan
isteri gagal membuat kata sepakat untuk perdamaian rumahtangga mereka
(3) Apabila pihak pengadilan berpendapat bahawa
talak adalah lebih baik
Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami
Jika tidak diceraikan dalam keadaan demikian, maka berdosalah suami
2) Talak itu hukumnya haram bila :
(1) Menceraikan isteri ketika sedang haid atau
nifas
(2) Ketika keadaan suci yang telah disetubuhi
(3) Ketika suami sedang sakit yang bertujuan
menghalang isterinya daripada menuntut harta pusakanya
(4) Menceraikan isterinya dengan talak tiga
sekaligus atau talak satu tetapi disebut berulang kali sehingga cukup tiga kali
atau lebih
(1) Suami tidak mampu menanggung nafkah isterinya
(2) Isterinya tidak menjaga martabat dirinya
4) Talak itu hukumnya makruh bila :
5) Talak itu hukumnya mubah bila :
Suami
lemah keinginan nafsunya atau isterinya belum datang haid atau telah putus
haidnya
2.
Sebutkan syarat dan rukun talaq ?
Syarat talaq :
1) Benar-benar suami yang sah. Yaitu keduanya berada dalam ikatan pernikahan yang
sah.
3) Berakal sehat yaitu tidak gila.
4) Orang yang menjatuhkan thalaq harus dengan ikhtiar Tidak sah menjatuhkan
thalaq tanpa ikhtiar dan karena terlanjur dalam lisan
5) Orang yang menjatuhkan thalaq harus orang yang pintar, mengerti makna dari
bahasa thalaq. Tidak sah orang yang tidak mengerti arti thalaq.
6) Orang yang menjatuhkan thalaq tidak boleh dipaksa tidak sah menjatuhkan
thalaq dengan dipaksa.
Rukun talaq :
1)
Suami, jika selain suami tidak boleh menthalaq
2)
Isteri, orang yang dilindungi oleh suami dan akan
dithalaq.
3)
Lafazh yang ditujukan untuk menthalaq, baik itu diucapkan
secara langsung maupun dilakukan dengan sindiran dengan disertai niat.
3.
Sebutkan macam-macam talaq ?
Macam-macam
talaq :
Dari segi cara suami menjatuhkan
1) Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, talak dibagi
menjadi 2, yaitu:
(1) Talak Sunni: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam
keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan
selainnya.
(2) Talak Bid'i: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam
keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar'i.
2) Dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak
dibagi menjadi dua, yaitu talak raj'i dan talak ba'in.
(1) Talak Raj'i: Talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya (talak 1 dan 2)
yang belum habis masa iddahnya. Dalam hal ini suami boleh rujuk pada istrinya
kapan saja selama masa iddah istri belum habis.
(2) Talak Ba'in: Talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis
masa iddahnya. Dalam hal ini, talak ba'in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak
ba'in sughra dan talak ba'in kubra.
Penjelasan :
1)
Talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami
pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk
lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru.
2)
Talak ba'in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami
pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. dalam hal ini,
suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah
istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar. oleh karena itu
nikah seseorang dengan mantan istri orang lain dengan maksud agar mereka bisa
menikah kembali (muhallil) maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW. dalam salah
satu haditsnya.
* Talak dua: pernyataan talak yang dijatuhkan sebanyak
dua kali dan memungkinkan suami rujuk dengan istri sebelum selesai masa iddah
* Talak tiga: pernyataan talak yang bersifat final.
Suami dan istri tidak boleh rujuk lagi, kecuali sang istri pernah dikawini oleh
orang lain lalu diceraikan olehnya.
4.
Jelaskan
pengertian khuluk dan fasakh ?
Pengertian
Fasakh
Fasakh adalah
pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada
suami, dalam kondisi di mana:
1) Suami tidak memberikan nafkah
lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
2) Suami meninggalkan istrinya selama
empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat
kontroversi tentang batas waktunya);
3) Suami tidak melunasi mahar (mas
kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya
(sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau
4) Adanya perlakuan buruk oleh suami
seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan
keselamatan dan keamanan istri.
Jika gugatan
tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka
Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.
Pengertian Khulu’
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229 :
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu' disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229 :
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Efek Hukum dari gugat cerai oleh istri baik Fasakh maupun Khulu’ adalah talak ba'in shughra (talak ba'in kecil).
1) Efek hukum yang ditimbulkan oleh fasakh dan khulu’ adalah talak ba'in
sughra, yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya,
apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan
melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri
wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan
laki-laki yang lain.
5.
Jelaskan
pengertian dan macam-macam iddah ?
Pengertian
iddah
1) Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau
karena gugat cerai oleh istri.
2) Dalam masa iddah, seorang perempuan yang dicerai tidak boleh menikah dengan
dengan siapapun sampai masa iddahnya habis atau selesai.
3) Bagi istri yang ditalak raj'i (talak satu atau talak dua) maka suami boleh kembali
ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah baru.
4) Sedangkan apabila suami ingin rujuk setelah masa iddah habis, maka harus
ada akad nikah yang baru.
Macam-macam
iddah
1)
Perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya
adalah empat bulan sepuluh hari, baik sang isteri sudah dicampuri (hubungan
intim) atau belum (QS Al-Baqarah 2:234).
2)
Istri yang dicerai saat sedang hamil, maka masa
iddahnya sampai melahirkan (QS At-Talaq 65:4).
3)
Istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan masih
haid secara normal, maka masa iddahnya tiga kali haid yang sempurna(QS
Al-Baqarah 2:228).
4)
Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum
mengeluarkan darah haid atau sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti
masa haid), maka iddahnya adalah tiga bulan (At-Thalaq 65:4).
5)
Wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan
dengan cara khulu’ atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri
selama satu kali haid.
6)
Wanita yang dicerai-talak sebelum ada hubungan intim,
maka tidak ada masa iddah.
6.
Jelaskan
hikmah perceraian, talaq, khuluk dan fasakh ?
Hikmah
perceraian, talaq, khuluk dan fasakh :
1) Sarana untuk
memilih pasangan hidup lebih baik & harmonis
2) Bentuk pengakuan
islam akan realitas kehidupan & kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan
berganti
3) Salah satu obat sakit mental
4) Menghindari
suami yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik
5) Memberi
kebebasan untuk memilih sejauh yang dibolehkan oleh agama
6) Menghindarkan
diri dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh suami/istri.
7.
Sebutkan
kewajiban suami pada masa iddah ?
Kewajiban suami pada masa iddah :
Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada bekas
istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar bekas istri yang
telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi
kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami
mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas
istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut ialah:
1. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas
istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dhukhul;
2. Memberikan nafkah kepada bekas istri selama
masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nasyuz dan
dalam keadaan tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terutang dan
apababila perkawinan itu qabla al dhukul mahar
dibayar setengahnya;
4. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya
yang belum mencapai umur 21 tahun.
Bagi pegawai
negeri sipil penentuan kewajiban untuk memberikan biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri, diatur tersendiri dalam PP No. 10 tahun 1983 yang telah
diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 dimana pasal 8 ayat 1 menyebutkan “Apabila
perceraian terjadi diatas kehendak pegawai negeri sipil saja, maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk kehidupan bekas istri dan anak-anaknya”
Untuk hak dan
kewajiban seorang istri yang berada dalam masa iddah, khususnya talak raj’i diantarannya ialah:
1. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik
secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang
ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2. Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama
fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah
ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar
kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan
ini juga dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
3. Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya
selama menjalani masa iddah.
4. Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang
hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang
ditinggal mati suaminya tenru tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta
waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya
masa iddah.
5. Wanita tersebut wajib berihdad(iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak
mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan
sepuluh hari.
6. Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta
waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak
berhak mendapatkanya.
Sedangkan
menurut Muhammad Baqir Al-habsyi ada empat hak perempuan yang
berada dalam masa iddah:
1. Perempuan dalam masa iddah akibat talak raj’i
berhak menerima tempat tinggal dan nafkah mengingat bahwa statusnya masih
sebagai istri yang sah dan karenanya tetap telah memiliki hak-hak sebagai
istri. Kecuali ia dianggap nusyuz (melakukan
hal-hal yang dianggap “durhaka”, yakni melanggar kewajiban taat kepada
suaminya) maka ia tidak berhak apa-apa.
2. Perempuan dalam masa iddah akibat talak ba’in
(yakni yang tidak mungkin rujuk) apabila ia dalam keadaan mengandung, berhak
juga atas tempat tinggal dan nafkah seperti di atas.
8.
Jelaskan
pengertian dan hukum ruju`?
Pengertian ruju’ :
1) Rujuk adalah
bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis
masa menunggunya (iddah).
2) Rujuk hanya
boleh dilakukan di dalam masa ketika suami boleh rujuk kembali kepada isterinya
(talaq raj’i), yakni di
antara talak satu atau dua.
3) Jika seorang
suami rujuk dengan istrinya, tidak diperlukan adanya akad nikah yang baru
karena akad yang lama belum seutuhnya terputus.
Hukum ruju’ :
Pada dasarnya hukum rujuk adalah boleh atau jaiz,
kemudian hukum rujuk dapat berkembang menjadi berbeda tergantung dari kondisi
suami istri yang sedang dalam perceraian. Dan perubahan hukum rujuk dapat
menjadi sebagai berikut :
1)
Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih
dari satu dan apabila pernyataan cerai (talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan. Maksudnya
adalah, seorang suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia
menceraikannya. Apabila belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali
isrinya.
2) Sunnah, yaitu apabila rujuk itu
lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
3)
Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih
bermanfaat dibanding mereka rujuk kembali.
4) Haram, yaitu apabila dengan adanya
rujuk si istri semakin menderita.
9.
Jelaskan syarat dan
rukun ruju` ?
Syarat ruju :
Ada beberapa syarat yang menjadikan rujuk sah:
1) Istri yang ditalak telah disetubuhi sebelumnya. Jika suami menceraikan (talak)) istrinya yang belum pernah disetubuhi, maka suami
tersebut tidak berhak untuk merujuknya. Ini adalah persetujuan (ijma) para ulama‟.
3) Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan, maka
istri menjadi talak bain atau tidak
dapat merujuk lagi istrinya.
4) Rujuk dilakukan pada masa menunggu atau masa iddah dari sebuah pernikahan yang sah. Jika masa menunggu (iddah) istri telah habis, maka suami tidak berhak untuk
merujuknya. Ini adalah kesepakatan (ijma) para ulama fiqih.
Rukun ruju :
1) Istri, keadaannya disyaratkan sebagai berikut : istri telah dicampuri
atau disetubuhi (ba’da dukhul), dan seorang istri yang akan dirujuknya,
ditalak dengan talak raj’i, yakni talak dimana seorang suami dapat meminta istrinya kembali dan
syarat selanjutnya adalah istri tersebut masih dalam masa menunggu (iddah).
2) Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam
dan sehat akal.
3)
Adanya saksi.
4)
Adanya sighat atau lafadz atau ucapan rujuk yang dapat
dimengerti dan tidak ambigu. yaitu ada dua cara :
(1) Secara terang-terangan, misalnya : “Saya rujuk kepadamu”.
(2) Secara sindiran, seperti kata suami : “Aku ingin tidur lagi
denganmu”. Perkataan ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti, tidak
digantungkan dengan sesuatu, misalnya saya rujuk kepadamu jika bapakmu mu Rujuk dengan kalimat seperti di atas hukumnya
tidak sah
10.
Jelaskan hikmah ruju` ?
Hikmah
ruju :
1) Dapat menyambung semula hubungan suami isteri
untuk kepentingan kerukunan numah tangga
2) Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk
meskipun telah berlaku perceraian.
3) Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk
meskipun telah berlaku perceraian.
KETENTUAN HADLANAH
1.
Jelaskan
ketentuan hadlanah ?
Pengertian
hadhanah
1) Kata hadhanah menurut bahasa adalah “bentuk mashdar dari kata hadhnu
ash-shabiy, atau mengasuh atau memelihara anak”. Mengasuh (hadhn)
dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping
dan dada atau lengan.
2) Kata hadhanah menurut istilah, hadhanah adalah menjaga anak
yang belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga
dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya
dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum
cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena si anak masih
perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal
demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksud dengan perwalian (wilayah).
Hukum Hadhanah
1) Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih
memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan
pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai
membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan
dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga
hak :
1) Hak wanita yang mengasuh.
2) Hak anak yang diasuh.
3) Hak ayah atau orang yang menempati posisinya.
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik
dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak
harus didahulukan daripada yang lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan.
1)
pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika
kondisinya memang memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya
yang dipandang pantas untuk mengasuh anak.
2)
Si ibu tidak
boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan demikian.
sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang dimungkinkan
akan menimpa si anak karena adanya mahram lain selain ibunya.
3)
Seorang ayah tidak berhak merampas anak dari
orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada
wanita lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
4) Jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus
menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya
mengasuh anak.
Syarat- syarat
Hadhanah, yaitu :
1) Berakal sehat, karena orang
gila tidak boleh menangani dan menyelenggarakan hadhanah.
2) Merdeka, sebab seorang budak
kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih
tercurahkan kepada tuannya.
3) Beragama islam, karena
masalah ini untuk kepentingan agama yang ia yakini atau masalah perwalian yang
mana Allah tidak mengizinkan terhadap orang kafir.
4) Amanah.
5) Belum menikah dengan laki-
laki lain bagi ibunya.
6) Bermukim bersama anaknya,
bila salah satu diantara mereka pergi maka ayah lebih berhak karena untuk
menjaga nasabnya.
7) Dewasa, karena anak kecil
sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi dirinya.
8) Mampu
mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak
dan justru terlantarkan berada di tangannya.
Mayorita Ulama’ sepakat bahwa syarat- syarat hadhanah seperti berakal,
amanah, dewasa, mampu mendidik terhindar dari hal-hal yang terdela merupakan
bagian dari hadhanah.
2.
Menganalisiskan
praktek pengasuhan anak yang tidak sesuai dengan Islam?
Praktek pengasuhan anak yang tidak sesuai
dengan Islam itu sangat ditentang sekali dipandang dari sudut manapun, karena
anak merupakan amanah yang diberikan oleh Allah swt. kepada orang tua si anak
tersebut. Oleh karena itu pengasuhan anak haruslah dilakukan dengan pendekatan
kemanusiaan agar proses tumbuh kembangnya anak itu dapat diketahui tahap demi
tahap secara normal, baik pisik maupun psikis anak agar menjadi anak yang
berkepribadian baik yang sholeh dan sholehah, hormat dan patuh kepada kedua
orang tua, berguna bagi agama, bangsa dan negara.
3.
Jelaskan
hikmah yang terkandung dalam aturan hadhanah ?
Adapun hikmah hak memelihara anak menurut Ali Ahmad
Al- Jurjawi dilihat dari 2 segi :
1) Tugas laki- laki dalam urusan penghidupan dan masyarakat berbeda dengan
tugas wanita. Perhatian seorang ibu terhadap anknya lebih tepat dan cocok
karena memelihara anaknya keistimewaan ibu.
2) Seorang ibu mempunyai rasa kasih sayang yang lebih besar terhadap anaknya
dari pada seorang ayah. Dan curahan hati tercurah lebih untuk anaknya.
HUKUM FAROID
(ILMU MAWARIS)
1.
Jelaskan
pengertian dan hukum ilmu mewarisi ?
Pengertian
dan hukum ilmu mewarisi :
1) Dalam literatur fiqh Islam, kewarisan (al-muwarits kata tunggalnya al-mirats
) lazim juga disebut dengan fara’idh, yaitu jamak dari kata faridhah
diambil dari kata fardh yang bermakna “ ketentuan atau takdir “. Al-fardh
dalam terminology syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.
2) Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.
3) Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 (a) menyatakan bahwa hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Rukun Warisan :
1) Al-Muwaris, ialah orang yang meninggal dunia
2) Ahli waris, ialah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati.
3) Mauruts, adalah harta peninggalan si mati setelah dipotong biaya pengurusan
mayit, melunasi hutangnya, dan melaksanakan wasiatnya yang tidak lebih dari
sepertiga.
2.
Jelaskan
tujuan dan kedudukan ilmu mewarisi ?
Tujuan ilmu mewarisi :
1) Tujuan ilmu mawaris yaitu agar kaum muslimin bertanggung jawab dalam
melaksanakan syariat Islam bidang pembagian harta warisan, supaya dapat
memberikan solusi terhadap pembagian harta warisan yang sesuai dengan perintah
Allah SWT dan Rasul-Nya, agar terhindar dari pembagian yang salah (menurut
kepentingan pribadi) bagi umat Islam, segala persoalan hidup manusia baik yang
berhubungan dengan Allah dan yang terkait dengan manusia lainnya adalah diatur
di dalam syariat Islam.
2) Di samping hal-hal tersebut di atas, tujuan ilmu mawaris adalah untuk
menyelamatkan harta benda si mayit agar terhindar dari pengambilan harta
orang-orang yang berhak menerimanya dan jangan ada orang-orang makan harta hak
milik orang lain, dan hak milik anak yatim dengan jalan yang tidak halal.
Inilah yang dimaksud Allah dengan Firman-Nya ( Q.S. al-Baqarah /2 : 188 ) :
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. ( Q.S. al-Baqarah /2 : 188 )
Kedudukan ilmu mewarisi :
Kedudukan ilmu mawaris itu dimana-mana sudah hampir hilang, orang-orang
yang mempunyai ilmu ilmu ini hampir sudah tidak ada dan pembagian harta waris
yang diatur menurut syari’at Islam itu sudah tidak banyak dilaksanakan oleh
umat Islam sendiri. Kalau ada orang yang mati meninggalkan harta pusaka, tidak
segera dibagikan kepada yang berhak menerimanya, sehingga akhirnya harta itu
habis tidak dibagi.
Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu sudah mensinyalir keadaan yang demikian,
sehingga beliau sangat menekankan kaum muslimin untuk mempelajari ilmu faraidh,
karena ilmu ini lama-lama akan lenyap, yakni orang-orang menjadi malas untuk
melaksanakan pembagian harta pusaka menurut semestinya, yang diatur oleh hukum
Islam.
Nabi Muhammad SAW menganggap pentingnya ilmu faraidh ini dan
mengkhawatirkan kalau ilmu faraidh ini akan terlupakan. Sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW :
عَنْ اَبِى هُرَيِرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ اَنَّ
النَّبِيَ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَلَّمُوا الْفَرَايِضَ
وَعَلِّمُوْهَا فَاِنَّهَا نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَيُنْسَىوَهُوَ اَوَّلُ سَيْئٍ
يُرْفَعُ مِنْ اُمَّتِى (رواه ابن ماجة والدرقطنى)
“Dari Abi Hurairah R.A bahwasannya Nabi Muhammad SAW
bersabda belajarlah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia maka
sesungguhnya (ilmu) faraidh adalah separoh ilmu agama dan ia akan dilupakan
(oleh manusia) dan merupakan ilmu yang pertama diambil dari ummatku (HR. Ibnu
Majah dan Daruqutni)
Hukum Membagi Harta Warisan
Hukum membagi harta warisan itu fardhu kifayah, Para ulama berpendapat
bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib kifayah.
Artinya kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang memenuhinya, dapat
menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang
menjalani kewajiban itu, maka semua orang menanggung dosa.
Beberapa Istilah
dalam Fiqh Mawaris yang berkaitan dengan ilmu faraidh antara lain :
1)
Waris, adalah ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang dekat
hubungan kekerabatannya tetapi tidak menerima warisan, dalam fiqih ahli waris
semacam ini disebut dzawil arham. Waris bisa timbul karena
hubungan darah, karena hubungan perkawinan dan karena akibat memerdekakan
hamba.
2)
Muwaris, artinya orang yang mewarisi harta peninggalannya, yaitu orang yang
meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki atau secara taqdiry (perkiraan),
atau melalui keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al mafqud) dan
tidak diketahui kabar berita dan domisilinya. Setelah melalui persaksian atau
tenggang waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia telah dinyatakan meninggal
dunia.
3)
Al Irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al janazah), pelunasan utang,
serta pelaksanaan wasiat.
4)
Warasah,yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda
dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi, karena
menjadi milik kolektif semua ahli waris.
5)
Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang, dan pelaksanaan
wasiat.
Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus dilaksanakan
beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan itu.
Hak-hak yang
harus diselesaikan dan harus dibayar adalah :
1) Zakat;
apabila telah sampai saatnyauntuk mengeluarkan zakatnya, maka dikeluarkan untuk
itu terlebih dahulu.
2) Belanja;
yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan dan pengurusan jenazah,
seperti halnya untuk membeli kain kafan, upah penggali kuburan dan lain
sebagainya.
3) Hutang;
jika mayat itu meninggalkan hutang, maka hutangnya mesti dibayar terlebih
dahulu.
4) Wasiat;
jika mayat meninggalkan pesan (wasiat), agar sebagaian dari harta
peninggalannya diberikan kepada seseorang, maka wasiat inipun harus
dilaksanakan.
Apabila keempat macam hak tersebut di atas ( zakat, biaya penguburan, hutang
dan wasiat ), sudah diselesaikan semua, maka harta warisan yang selebihnya
dapat dibagi-bagikan kepada ahli yang berhak menerimanya.
3.
Jelaskan
sebab-sebab waris mewarisi?
Sebab-sebab waris mewarisi ada
4 macam yaitu :
1) Sebab
nasab (hubungan keluarga).
Hubungan keluarga di sini yang disebut dengan nasab hakiki,
artinya hubungan darah atau hubungan kerabat, baik dari garis atas atau leluhur si mayit (Ushul), garis keturunan (Furu’) maupun
hubungan kekerabatan garis menyamping (Hawasyi) baik
laki-laki maupun perempuan. Misalnya seorang anak akan memperoleh harta
warisan dari bapak, dan sebaliknya, seseorang akan memperoleh harta
warisan dari saudaranya, dll. Sebagaimana firman Allah SWT (QS. An-Nisa’ : 7) :
7. bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan.
2) Sebab pernikahan yang sah.
Pernikahan yang sah yakni hubungan suami istri yang diikat oleh adanya akad
nikah. Dari sebab inilah lahirlah istilah-istilah dalam ilmu faraidh, seperti :
Dzawil furudh, Ashobah, Furudz Al Muqadzarah. Firman Allah (QS. An-Nisa’
: 12) :
12. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.
[274] Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a.
Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud
mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi
hak waris, juga tidak diperbolehkan.
3) Sebab wala’ (الولاء) atau sebab jalan
memerdekakan budak.
Tuan yang memerdekakan hamba sahayanya apabila hamba sahaya yang
dimerdekakan itu mati, maka tuan itu berhak menerima harta pusaka atau warisan
peninggalan hamba sahaya itu. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya hak menerima harta pusaka itu bagi orang yang memerdekakan (H.R. Bukhari Muslim)
4) Sebab
kesamaan agama (اتحاد الدين).
Kesamaan agama yaitu apabila ada orang Islam yang meninggal dunia sedangkan
ia tidak mempunyai ahli waris (baik sebab nasab, nikah maupun wala’) maka harta
warisan peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat Islam.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Saya adalah ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Rasulullah SAW. terang tidak menerima harta pusaka untuk diri beliau
sendiri, hanya beliau menerima warisan seperti itu untuk dipergunakan
semata-mata untuk kemaslahatan umat Islam.
4.
Jelaskan halangan waris mewarisi ?
Halangan waris mewarisi :
Yang dimaksud terhalang di sini adalah Ahli waris baik laki-laki maupun
perempuan yang semestinya mendapatkan harta warisan tetapi terhalang karena
adanya sebab-sebab tertentu. Orang tersebut disebut orang yang terhalang (Mamnu’ul
Irtsy) atau disebut terhalang karena adanya sifat tertentu (Mahjub bil
Washfi).
Ahli waris menjadi gugur haknya untuk mendapatkan harta warisan disebabkan
karena sebagai berikut:
1)
Pembunuh
Orang yang membunuh kerabat keluarganya tidak berhak mendapatkan harta
warisan dari yang terbunuh. Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Tidak berhak mendapatkan harta warisan sedikitpun
seorang yang membunuh”.
Mengenai masalah ini, ada perbedaan pendapat :
(1) Segolongan
kecil berpendapat, bahwa si pembunuh tetap mendapatkan warisn selaku, selaku
ahli wais.
(2) Kemudian
golongan lain memisahkan sifat pembunuhan itu, yaitu pembunuhan yang disengaja
dan yang tersalah. Siapa yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, dia tidak
mendapat warisan sama sekali. Siapa yang melakukan pembunuhan tersalah, dia
tetap mendapat warisan. Pendapat ini dianut oleh Malik bin Anas dan
pengikut-pengikutnya.
Yang menjadi pangkal pokok perbedaan pendapat mengenai hal ini ialah,
disebabkan suatu pertimbangan tentang kepentingan umum. Menurut kepentingan
umum, sudah sepantasnya si pembunuh itu tidak mendapatkan warisan, supaya
jangan sampai terjadi pembunuhan-pembunuhan, karena mengharapkan harta warisan.
Demikian penemikian pendapat sebagaian besar ulama.
2)
Budak (Hamba Sahaya)
Seorang yang menjadi budak tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan
dari tuannya, dan juga tuannya tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan
dari budaknya. Sebagaimana firman Allah SWT ”. (QS. An-Nahl: 75):
75. Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami
beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu
secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji
hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui[833].
[833] Maksud dari perumpamaan ini ialah untuk membantah orang-orang
musyrikin yang menyamakan Tuhan yang memberi rezki dengan berhala-berhala yang
tidak berdaya.
3) Orang murtad.
Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak berhak mendapat
warisan dari keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya.
4)
Perbedaan Agama
Orang Islam tidak dapat mewarisi harta warisan dari orang kafir meskipun
masih kerabat keluarganya. Demikian juga sebaliknya sebagaimana Sabda
Rasulullah:
“Orang Islam tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang kafir, dan
orang kafir tidak bisa mendapatkan harta warisan dari Orang Islam (HR. Bukhari
Muslim)
Ada beberapa ahli waris yang tidak bisa terhalangi haknya meskipun semua ahli
waris itu ada. Mereka itu adalah :
1) Anak laki-laki
2) Anak perempuan
3) Bapak
4) Ibu
5) Suami atau isteri
5.
Jelaskan
macam-macam ahli waris dan bagiannya ?
Macam-macam ahli waris dan bagiannya :
a. Klasifikasi Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima bagian dari harta
warisan. Ahli waris tersebut adalah baik laki-laki mapun perempuan, baik yang
mendapatkan bagian tertentu (Dzawil Furudh), maupun yang mendapatkan
sisa (Ashabah), dan yang terhalang (Mahjub) maupun yang tidak.
Ditinjau dari sebab-sebab seseorang menjadi ahli waris, dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1)
Ahli waris Sababiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena hubungan
perkawinan dengan orang yang meninggal yaitu suami atau istri.
2) Ahli
waris Nasabiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan karena hubungan nasab
atau pertalian darah dengan orang yang meninggal. Ahli waris nasabiyah
ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
a) Ushulul
Mayyit, yang terdiri dari bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya ke atas
(garis keturunan ke atas).
b) Al
Furu’ul Mayyit, yaitu anak, cucu, dan seterusnya sampai ke bawah (garis
keturunan ke bawah).
c) Al
Hawasyis, yaitu saudara paman, bibi, serta anak-anak mereka (garis
keturunan ke samping) Dari segi jenis kelamin, ahli waris, dibagi menjadi ahli
waris laki-laki dan ahli waris perempuan.
Yang termasuk ahli waris laki-laki ada lima belas
orang, yaitu:
1)
Suami
2)
anak laki-laki
3)
cucu laki-laki
4)
bapak
5)
kakek dari bapak sampai ke atas
6)
saudara laki-laki kandung
7)
saudara laki-laki seayah
8)
saudara laki-laki seibu
9)
anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
10) anak laki-laki saudara laki-laki seayah
11) paman sekandung dengan bapak
12) paman seayah dengan bapak
13) anak laki-laki paman sekandung dengan bapak
14) anak laki-laki paman seayah dengan bapak
15) orang yang memerdekakan
Jika semua ahli waris laki-laki di atas ada semua, maka yang mendapat
warisan adalah suami, anak laki-laki, dan bapak, sedangkan yang lain terhalang
Adapun ahli waris perempuan ada 10 orang, yaitu :
1)
Istri
2)
Anak perempuan
3)
Cucu perempuan dari anak laki-laki
4)
Ibu
5)
Nenek dari ibu
6)
Nenek dari bapak
7)
Saudara perempuan kandung
8)
Saudara perempuan seayah
9)
Saudara perempuan seibu
10) Orang perempuan yang memerdekakan
Jika ahli waris perempuan ini semua ada, maka yang mendapat bagian harta
warisan adalah : istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan dari anak laki-laki
dan saudara perempuan kandung.
Selanjutnya, jika seluruh ahli waris ada baik laki-laki maupun perempuan
yang mendapat bagian adalah :
1) Suami/istri,
2) Bapak/ibu,
3) anak laki-laki.
4) anak perempuan.
b. Furudhul
Muqadzarah
Furudzul Muqaddarah adalah bagian-bagian
tertentu yang telah ditetapkan Al-Qur’an bagi ahli waris tertentu juga. Bagian
tertentu tersebut menurut Al-Qur’an adalah:
1) Bagian 1/2
2) Bagian 1/4
3) Bagian 1/8
4) Bagian 1/3
5) Bagian 2/3
6) Bagian 1/6
c. Dzawil Furudz
Dzawil Furudh adalah orang-orang dari ahli waris yang mendapatkan
bagian tertentu sebagaimana tersebut di atas, disebut juga Ashabul Furudh.
Adapun bagian-bagian tertentu tersebut menurut
Al-Qur’an adalah :
1) Ahli waris
yang mendapat bagian ½, ada lima ahli waris sebagai berikut :
a) Anak
perempuan (tunggal), dan jika tidak ada anak laki-laki.
Berdasarkan firman Allah :
“jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh 1/2 harta” (QS. An Nisa/4 : 11)
b) Cucu
perempuan tunggal dari anak laki-laki selama tidak ada :
1) anak laki-laki;
2) cucu laki-laki dari anak
laki-laki;
c) Saudara
perempuan kandung tunggal, jika tidak ada :
1) Anak laki-laki atau anak
perempuan;
2) Cucu laki-laki atau perempuan
dari anak laki-laki;
3) Bapak;
4) Kakek ( bapak dari bapak );
5) Saudara laki-laki sekandung.
Firman Allah SWT :
”Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya”. (Q.S. An-Nisa’/4 :176 )
d) Saudara perempuan seayah
tunggal, dan jika tidak ada :
1) Anak
laki-laki atau anak perempuan;
2) Cucu
laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki;
3) Bapak;
4) Kakek (
bapak dari bapak );
5) Saudara
perempuan sekandung.
6) saudara
laki-laki sebapak.
Firman Allah SWT :
“Dan bagi orang yang meninggalkan saudara perempuan maka ia mendapat bagian
1/2 dari harta warisan”. (QS. An Nisa/4: 175) .
e) Suami,
jika tidak ada :
1) anak
laki-laki atau perempuan
2) cucu
laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Firman Allah SWT :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak”(Q.S.
An-Nisa’/4 :12 )
2) Ahli waris
yang mendapat bagian 1/4
a) Suami, jika
ada :
1) anak
laki-laki atau perempuan
2) cucu
laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki
Firman Allah SWT :
“Apabila istri-istri kamu itu mempunyai anak maka kamu memperoleh
seperempat harta yang ditinggalkan” (Q.S, an-Nisa/4
: 12)
b) Istri
(seorang atau lebih), jika ada :
1) anak
laki-laki atau perempuan
2) cucu
laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Firman Allah SWT :
“Dan bagi istri-istrimu mendapat seperempat dari harta yang kamu tinggalkan
apabila kamu tidak meninggalkan anak”. (Q.S.
An-Nisa’/4: 12)
3) Ahli waris yang
mendapat bagian 1/8
Ahli waris yang mendapat bagian 1//8 adalah istri baik
seorang atau lebih, jika ada :
(1) anak laki-laki atau perempuan
(2) cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
Firman Allah SWT :
“Apabila kamu mempunyai anak, maka untuk istri-istrimu itu seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan “. (Q.S.An-Nisa’/4
: 12)
4) Ahli waris
yang mendapat bagian 2/3
Dua pertega ( 2/3) dari harta pusaka menjadi
bagian empat orang :
a) Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara
laki-laki.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Jika anak itu semua perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan”.(Q.S. An-Nisa’
/4 : 11 )
b) Dua orang
cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki jika tidak ada anak perempuan
atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c) Dua
orang saudara perempuan kandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan atau
cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudarai laki-laki kandung.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkannya oleh yang meninggal”.(Q.S. An-Nisa’/4 : 176 )
d) Dua orang
perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki
dan saudara laki-laki seayah.
5) Ahli waris
yang mendapat bagian 1/3
a) Ibu, jika
yang meninggal tidak memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki atau
saudara-saudara.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam”. (QS. An Nisa :
11).
b) Dua
orang saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan yang seibu.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari satu orang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu”. (Q.S.
An-Nisa’/4 : 12
6) Ahli waris
yang mendapat bagian 1/6.
Bagian seperenam (1/6) dari harta pusaka menjadi milik
tujuh orang :
a) Ibu, jika
yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua orang
atau lebih dari saudara laki-laki atau perempuan.
b) Bapak,
bila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak”.( Q.S An-Nisa’/4 : 11 )
c) Nenek (Ibu
dari ibu atau ibu dari bapak), bila tidak ada ibu.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Bahwasanya Nabi SAW. telah memberikan bagian seperenam kepada nenek, jika
tidak terdapat (yang menghalanginya), yaitu ibu”.(H.R. Abu Dawud dan Nasa’i )
d) Cucu perempuan
dari anak laki-laki, seorang atau lebih, jika bersama-sama seorang anak
perempuan .
Sabda Nabi Muhammad SAW :
“ Nabi SAW. telah menetapkan seperenam bagian untuk cucu perempuan dari
anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan”. (H.R. Bukhari ).
e) Kakek, jika
yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, dan tidak ada
bapak.
f) Seorang
saudara seibu (laki-laki atau perempuan), jika yang meninggal tidak
mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan bapak.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“ Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja, atau saudara
perempuan seibu saja, maka bagi masing-masing kedua saudara ibu seperenam
harta”. ( Q.S. An-Nisa’/4 : 12 )
g) Saudara
perempuan seayah seorang atau lebih, jika yang meninggal dunia mempunyai
saudara perempuan sekandung dan tidak ada saudara laki-laki sebapak.
Ahli waris yang tergolong dzawil furudz dan
kemungkinan bagian masing-masing adalah sebagai berikut :
1) Bapak
mempunyai tiga kemungkinan;
a) 1/6 jika
bersama anak laki-laki.
b) 1/6 dan
ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
c) ashabah
jika tidak ada anak.
2) Kakek (bapak
dari bapak) mempunyai 4 kemungkinan
a) 1/6 jika bersama
anak laki-laki atau perempuan
b) 1/6 dan
ashabah jika bersama anak laki-laki atau perempuan
c) Ashabah
ketika tidak ada anak atau bapak.
d) Mahjub
atau terhalang jika ada bapak.
3) Suami
mempunyai dua kemungkinan;
a) 1/2 jika yang
meninggal tidak mempunyai anak.
b) 1/4 jika yang
meninggal mempunyai anak.
4) Anak
perempuan mempunyai tiga kemungkinan;
a) 1/2 jika
seorang saja dan tidak ada anak laki-laki.
b) 2/3 jika
dua orang atau lebih dan jika tidak ada anak laki-laki.
c) menjadi
ashabah, jika bersamanya ada anak laki-laki.
5) Cucu
perempuan dari anak laki-laki mempunyai 5 kemungkinan;
a) 1/2 jika
seorang saja dan tidak ada anak dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
b) 2/3 jika cucu
perempuan itu dua orang atau lebih dan tidak ada anak dan cucu laki-laki dari
anak laki-laki.
c) 1/6 jika
bersamanya ada seorang anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki dan cucu
laki-laki dari anak laki-laki.
d) Menjadi
ashabah jika bersamanya ada cucu laki-laki.
e) Mahjub/terhalang
oleh dua orang anak perempuan atau anak laki-laki.
6) Istri
mempunyai dua kemungkinan;
a) 1/4 jika yang
meninggal tidak mempunyai anak.
b) 1/8 jika
yang meninggal mempunyai anak.
7) Ibu
mempunyai tiga kemungkinan;
a) 1/6 jika yang
meninggal mempunyai anak.
b) 1/3 jika
yang meninggal tidak mempunyai anak atau dua orang saudara.
c) 1/3 dari
sisa ketika ahli warisnya terdiri dari suami, Ibu dan bapak, atau istri, ibu
dan bapak.
8) Saudara
perempuan kandung mempunyai lima kemungkinan
a) 1/2 kalau ia
seorang saja.
b) 2/8 jika
dua orang atau lebih.
c) Ashabah
kalau bersama anak perempuan.
d) Mahjub/tertutup
jika ada ayah atau anak laki-laki atau cucu laki-laki.
9) Saudara
perempuan seayah mempunyai tujuh kemungkinan
a) 1/2 jika ia
seorang saja.
b) 2/3 jika
dua orang atau lebih.
c) Ashabah
jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan.
d) 1/6 jika
bersama saudara perempuan sekandung.
e) Mahjub/terhalang
oleh ayah atau anak laki-laki, atau cucu laki-laki atau saudara laki-laki
kandung atau saudara kandung yang menjadi ashabah.
10) Saudara perempuan atau laki-laki seibu
mempunyai tiga kemungkinan.
a) 1/6 jika
seorang, baik laki-laki atau perempuan.
b) 1/3 jika
ada dua orang atau lebih baik laki-laki atau permpuan.
c) Mahjub/terhalang
oleh anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki, ayah atau nenek laki-laki.
11) Nenek (ibu dari ibu) mempunyai dua
kemungkinan
a) 1/6 jika
seorang atau lebih dan tidak ada ibu.
b) Mahjub/terhalang
oleh ibu.
d. ’Ashabah
1) Menurut
bahasa ashabah adalah bentuk jamak dari ”Ashib” yang artinya mengikat,
menguatkan hubungan kerabat/nasab.
2) Menurut
syara’ ’ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa
mendapat semua harta atau sisa harta setelah harta dibagi kepada ahli waris
dzawil furudz.
3) Ahli waris
yang menjadi ’ashabah kemungkinan mendapat seluruh harta, karena tidak ada ahli
waris dzawil furudh, akan mendapat sebagaian sisa ketika ia bersama ahli waris
dzawil furudh, atau bahkan tidak mendapatkan sisa sama sekali karena sudah
habis dibagikan kepada ahli waris dzawil furudh.
Di dalam istilah ilmu faraidh, macam-macam ‘ashabah
ada tiga yaitu :
1) ‘Ashabah
Binnafsi yaitu menjadi ‘ashabah dengan sebab sendirinya, tanpa disebabkan
oleh orang lain. Ahli waris yang termasuk ashabah binnafsi adalah :
a) Anak laki-laki
b) Cucu
laki-laki
c) Ayah
d) Kakek
e) Saudara
kandung laki-laki
f) Sudara
seayah laki-laki
g) Anak
laki-laki saudara laki-laki kandung
h) Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah
i) Paman
kandung
j) Paman
seayah
k) Anak
laki-laki paman kandung
l) Anak
laki-laki paman seayah
m) Laki-laki yang
memerdekakan budak
Apabila semua ‘ashabah-‘ashabah ada, maka tidak semua ‘ashabah mendapat
bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang ( ‘ashabah-‘ashabah) yang
lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya
diatur menurut nomor urut yang tersebut di atas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak
perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara
pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak
perempuan.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”.
(Q.S.An-Nisa’/4 : 11)
2) ‘Ashabah
Bilgha’ir yaitu anak perempuan, cucu peremuan, saudara perempuan seayah,
yang menjadi ashabah jika bersama saudara laki-laki mereka masing-masing (
‘Ashabah dengan sebab terbawa oleh laki-laki yang setingkat ).
Prempuan yang menjadi ‘ashabah dengan sebab orang lain
adalah :
a) Anak
laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah dengan
ketentuan, bahwa untuk laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian
perempuan.
b) Cucu
laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan
menjadi ‘ashabah.
c) Saudara
laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
‘ashabah.
d) Saudara
laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara
membaginya ialah, untuk saudara laki-laki dua kali lipat saudara perempuan.
Allah berfirman adalam al-Qur’an :
“Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan
perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan”. (.Q.S, An-Nisa’ /4 : 176 )
3) ‘Ashabah
Ma’algha’ir ( ‘ashabah bersama orang lain ) yaitu ahli waris perempuan yang
menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan lain. Mereka adalah :
a) Saudara
perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak perempuan (seorang atau
lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
b) Saudara
perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu
perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki.
e. Hijab
Hijab adalah penghapusan hak waris seseorang, baik penghapusan sama sekali
ataupun pengurangan bagian harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat
pertaliaannya ( hubungannya ) dengan orang yang meninggal.
Oleh karena itu hijab ada dua macam :
1) (hijab
hirman) yaitu penghapusan seluruh bagian , karena ada ahli waris yang lebih
dekat hubungannya dengan orang yang meninggal itu. Contoh cucu laki-laki dari
anak laki-laki, tidak mendapat bagian selama ada anak laki-laki.
2) (hijab
nuqshon) yaitu pengurangan bagian dari harta warisan, karena ada ahli waris
lain yang bersama-sama dengan dia. Contoh : ibu mendapat 1/3 bagian, tetapi
yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu atau beberapa saudara, maka bagian
ibu berubah menjadi 1/6.
Dengan demikian ada ahli waris yang terhalang (tidak mendapat bagian) yang
disebut (mahjub hirman), ada ahli waris yang hanya bergeser atau
berkurang bagiannya yang disebut (mahjub nuqshan) Ahli waris
yang terakhir ini tidak akan terhalang meskipun semua ahli waris ada, mereka
tetap akan mendapat bagian harta warisan meskipun dapat berkurang. Mereka
adalah ahli waris dekat yang disebut (Al Aqrabun) mereka terdiri
dari : Suami atau istri, Anak laki-laki dan anak perempuan, Ayah dan ibu.
Ahli waris yang terhalang :
Berikut di bawah
ini ahli waris yang terhijab atau terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat
hubungannya dengan yang meninggal adalah :
1) Kakek
(ayah dari ayah) terhijab/terhalang oleh ayah. Jika ayah masih hidup maka kakek
tidak mendapat bagian.
2) Nenek (ibu
dari ibu) terhijab /terhalang oleh ibu
3) Nenek
dari ayah, terhijab/terhalang oleh ayah dan juga oleh ibu
4) Cucu
dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh anak laki-laki
5) Saudara
kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) cucu
laki-laki dari anak laki-laki
c) ayah
6) Saudara
kandung perempuan terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) ayah
7) Saudara
ayah laki-laki dan perempuan terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) anak
laki-laki dan anak laki-laki
c) ayah
d) saudara
kandung laki-laki
e) saudara
kandung perempuan
f) anak
perempuan
g) cucu
perempuan
8) Saudara seibu
laki-laki / perempuan terhijab/terhalang oleh :
a) anak laki-laki
atau perempuan
b) cucu
laki-laki atau perempuan
c) ayah
d) kakek
9) Anak
laki-laki dari saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) cucu
laki-laki
c) ayah
d) kakek
e) saudara
kandung laki-laki
f) saudara
seayah laki-laki
10) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) cucu
laki-laki
c) ayah
d) kakek
e) saudara
kandung laki-laki
f) saudara
seayah laki-laki
11) Paman (saudara laki-laki sekandung ayah) terhijab/terhalang
oleh :
a) anak
laki-laki
b) cucu
laki-laki
c) ayah
d) kakek
e) saudara
kandung laki-laki
f) saudara
seayah laki-laki
12) Paman (saudara laki-laki sebapak ayah)
terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) cucu
laki-laki
c) ayah
d) kakek
e) saudara
kandung laki-laki
f) saudara
seayah laki-laki
13) Anak
laki-laki paman sekandung terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) cucu
laki-laki
c) ayah
d) kakek
e) saudara
kandung laki-laki
f) saudara
seayah laki-laki
14) Anak laki-laki
paman seayah terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) cucu
laki-laki
c) ayah
d) kakek
e) saudara
kandung laki-laki
f) saudara
seayah laki-laki
15) Cucu
perempuan dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a) anak
laki-laki
b) dua orang
perempuan jika cucu perempuan tersebut tidak bersaudara laki-laki yang
menjadikan dia sebagai ashabah
Menentukan bagian dan
pendapatan ahli waris :
Untuk menentukan ahli waris yang mendapatkan harta
warisan, maka harus diketahui siapa ahli waris yang terhalang (terhijab), siapa
yang mendapat bagian tertentu, siapa yang menjadi ashabah, berapa KPK/AM
nya.
Contoh 1
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris
yang terdiri atas suami, bapak, dan seorang anak perempuan. Harta warisan yang
harus dibagikan adalah uang sejumlah Rp. 20.000.000,00. Hitunglah bagian
masing-masing ahli waris :
Langkah 1
Ahli Waris
|
Bagian
|
Keterangan
|
Suami
|
1/4
|
Karena ada anak
|
Anak Perempuan
|
1/2
|
Karena tunggal
|
Bapak
|
Ashabah
|
Karena tidak ada anak laki-laki
|
KPK/Asal Masalahnya = 4
|
Langkah 2
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 4
|
Jumlah Bagian
|
Suami
|
1/4
|
¼ x 4
|
1
|
Anak Perempuan
|
1/2
|
½ x 4
|
2
|
Bapak
|
Ashabah
|
Ashabah/sisa
|
4 – 3 = 1
|
Langkah 3
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah bagian
|
Suami
|
¼ x Rp. 20.000.000,00
|
Rp. 5.000.000,00
|
Anak Perempuan
|
½ x Rp. 20.000.000,00
|
Rp. 10.000.000,00
|
Bapak
|
¼ x Rp. 20.000.000,00
|
Rp. 5.000.000,00
|
Jumlah
|
Rp. 20.000.000,00
|
Contoh 2
Seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris seorang anak perempuan, seorang
cucu perempuan dari anak laki-laki, suami dan kakek. Harta warisan yang harus
dibagikan adalah Rp. 36.000.000,00 . Tentukan ahli waris yang mendapat bagian
dan hitunglah bagian masing-masing tersebut
Langkah 1
Ahli Waris
|
Bagian
|
Keterangan
|
Anak perempuan
|
1/2
|
Karena tunggal
|
Cucu perempuan
|
1/6
|
Bersamanya ada seorang anak perempuan
|
Suami
|
1/4
|
Karena ada anak perempuan
|
Kakek
|
Ashabah
|
Karena tidak ada anak laki-laki atau bapak
|
KPK/Asal Masalahnya = 12
|
Langkah 2
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 12
|
Jumlah Bagian
|
Anak perempuan
|
1/2
|
½ x 12
|
6
|
Cucu perempuan
|
1/6
|
1/6 x 12
|
2
|
Suami
|
1/4
|
¼ x 12
|
3
|
Kakek
|
Ashabah
|
Ashabah/sisa
|
12 – 11 = 1
|
Langkah 3
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah bagian
|
Anak perempuan
|
6/12 x Rp. 36.000.000,00
|
Rp. 18.000.000,00
|
Cucu perempuan
|
2/12 x Rp. 36.000.000,00
|
Rp. 6.000.000,00
|
Suami
|
3/12 x Rp. 36.000.000,00
|
Rp. 9.000.000,00
|
Kakek
|
1/12 x Rp. 36.000.000,00
|
Rp. 3.000.000,00
|
Jumlah
|
Rp. 36.000.000,00
|
Contoh 3
Seseorang
meninggal dunia, ahli warisnya dua anak perempuan, dua orang ibu bapak dan 2
orang istri. Harta warisan senilai Rp. 96.000.000,00. Maka penyelesaiannya
sebagia berikut :
Langkah 1
Ahli Waris
|
Bagian
|
Keterangan
|
2 Anak perempuan
|
2/3
|
Karena lebih dari satu
|
ibu
|
1/6
|
Bersamanya ada seorang anak perempuan
|
2 orang istri
|
1/8
|
Karena ada anak perempuan
|
Bapak
|
Ashabah
|
|
KPK/Asal Masalahnya = 24
|
Langkah 2
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 24
|
Jumlah Bagian
|
2 Anak perempuan
|
2/3
|
2/3 x 24
|
16
|
ibu
|
1/6
|
1/6 x 24
|
4
|
2 orang istri
|
1/8
|
1/8 x 24
|
3
|
Bapak
|
Ashabah
|
Ashabah/sisa
|
24 – 23 = 1
|
Langkah 3
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah bagian
|
2 Anak perempuan
|
16/24 x Rp. 96.000.000,00
|
Rp. 64.000.000,00
|
ibu
|
4/24 x Rp. 96.000.000,00
|
Rp. 16.000.000,00
|
2 orang istri
|
3/24 x Rp. 96.000.000,00
|
Rp. 12.000.000,00
|
Bapak
|
1/12 x Rp. 96.000.000,00
|
Rp. 4.000.000,00
|
Jumlah
|
Rp. 96.000.000,00
|
Contoh 4
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan : suami,dua
orang ibu bapak, seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan, seorang cucu
laki-laki dari anak laki-laki, dan paman. Jumlah harta yang ditinggalkan
sebesar Rp. 24.000.000,00
Maka penyelesaiannya adalah sebai berikut :
Langkah 1
Ahli Waris
|
Bagian
|
Keterangan
|
Suami
|
1/4
|
Karena ada anak
|
Ibu
|
1/6
|
Karena ada anak
|
Bapak
|
1/6
|
Karena ada anak
|
1 Anak laki-laki
|
Ashabah Binnafsi
|
|
2 Anak perempuan
|
Ashabah Bilghair
|
Bersamanya ada anak laki-laki
|
1 Cucu laki-laki
|
Terhijab
|
Karena ada anak
|
Paman
|
Terhijab
|
Karena ada anak dan bapak
|
KPK/Asal Masalahnya = 12
|
Langkah 2
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 12
|
Jumlah Bagian
|
Suami
|
1/4
|
1/4 x 12
|
3
|
Ibu
|
1/6
|
1/6 x 12
|
2
|
Bapak
|
1/6
|
1/6 x 12
|
2
|
1 Anak laki-laki
|
}Ashabah
|
Ashabah/sisa
|
12 – 7 = 5
|
2 Anak perempuan
|
}Ashabah
|
Langkah 3
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah bagian
|
Suami
|
3/12 x Rp. 24.000.000,00
|
Rp. 6.000.000,00
|
Ibu
|
2/12 x Rp. 24.000.000,00
|
Rp. 4.000.000,00
|
Bapak
|
2/12 x Rp. 24.000.000,00
|
Rp. 4.000.000,00
|
Anak ( L / P )
|
5/12 x Rp. 24.000.000,00
|
Rp. 10.000.000,00
|
Jumlah
|
Rp. 24.000.000,00
|
Bagian untuk anak laki-laki dua kali lipat bagian anak
perempuan ( 2 : 1 ), sehingga perbandingannya 2 : 2 = 4
Jadi bagian 1 anak
laki-laki
= 2/4 x Rp. 10.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
Sedangkan bagian 2 anak perempuan = 2/4 x Rp. 10.000.000,00 = Rp.
5.000.000,00
Contoh 5
Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya tiga
orang saudara laki-laki seibu, seorang istri, ibu dan paman sekandung dengan
bapak . Harta yang ditinggalkan adalah Rp. 48.000.000,00. Maka penyelesaiannya
adalah sebagai berikut :
Langkah 1
Ahli Waris
|
Bagian
|
Keterangan
|
3 Sdr laki-laki seibu
|
1/3
|
Karena lebih dari satu dan tidak ada anak
|
Istri
|
1/4
|
Karena tidak ada anak
|
Ibu
|
1/6
|
Karena ada saudara laki-laki
|
Paman
|
Ashabah
|
Karena tidak ada anak laki-laki dan bapak
|
KPK/Asal Masalahnya = 12
|
Langkah 2
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 12
|
Jumlah Bagian
|
|
3 Sdr laki-laki seibu
|
1/3
|
1/3 x 12
|
4
|
|
Istri
|
1/4
|
1/4 x 12
|
3
|
|
Ibu
|
1/6
|
1/6 x 12
|
2
|
|
Paman
|
Ashabah
|
Ashabah/sisa
|
12 – 9 = 3
|
|
Langkah 3
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah bagian
|
3 Sdr laki-laki seibu
|
4/12x Rp. 48.000.000,00
|
Rp. 16.000.000,00
|
Istri
|
3/12 x Rp. 48.000.000,00
|
Rp. 12.000.000,00
|
Ibu
|
2/12 x Rp. 48.000.000,00
|
Rp. 8.000.000,00
|
Paman
|
3/12 x Rp. 48.000.000,00
|
Rp. 12.000.000,00
|
Jumlah
|
Rp. 48.000.000,00
|
6.
Jelaskan
tentang cara pembagian waris dengan aul dan radd ?
Cara
pembagian waris dengan aul :
1) Kata ‘Aul menurut bahasa bermakna ‘naik’ atau ‘meluap’. Al ‘aul bisa
juga berarti ‘bertambah’ atau “ menaikkan jumlah bagian ahli waris terhadap
Asal Masalah “.
2) Kata ‘Aul menurut istilah fuqaha yaitu “bertambahnya jumlah bagian –bagian,
disebabkan kurang pendapatan yang harus diterimaoleh ahli waris, sehingga
jumlah bagian semuannya berlebih dari Asal Masalahnya atau KPK. ‘Aul
terjadi saat makin banyaknya ashabul furud sehingga harta yang dibagikan habis.
Padahal masih ada diantara para ahli waris yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan tersebut kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga
seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashabul furud yang ada, meskipun
bagian mereka menjadi berkurang.
Menurut Ulama-ulama faraidh, pokok masalah yang dapat yang di’aul, hanya
tiga masalah saja, yaitu:
AM 6 bisa di’aul menjadi 7, 8, 9, dan 10.
AM 12 bisa di’aul menjadi 13, 15 dan 17.
AM 24 hanya bisa di’aul menjadi 27.
‘Aul dalam
pembagian warisan adalah cara mengatasi kesulitan pembagian warisan jika asal
masalah yang dilambangkan angka pembilang lebih kecil dari jumlah penyebutnya.
Penyelesaian masalah ini adalah dengan membulatkan angka pembilangnya.
Contoh kasus 1: Seseorang
meninggal dengan Ahli waris, terdiri dari suami dan dua sdr. Perempuan kandung,
dengan harta peninggalan 14.400.000,00. Berapa bagian masing-masing ahli waris
?
Langkah 1
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 6
|
1.
2.
|
Suami
2 Sdr. Perempuan sekandung
|
½ ( tidak ada anak)
2/3 ( tidak ada anak)
|
½ x 6 =
3
2/3 x 6 =
4
|
Jumlah
|
= 7 bagian
|
Langkah 2
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah Bagian
|
1.
2.
|
Suami
2 Sdr. Perempuan sekandung
|
3/7 x Rp. 1.400.000,00
4/7 x Rp. 1.400.000,00
|
Rp. 600.000,00
Rp. 800.000,00
|
Jumlah
|
Rp.1.400.000,00
|
Pada contoh di
atas dapat dilihat bahwa jumlah pembilang adalah 7 ( jumlah angka bagian ahli
waris ), lebih besar dari jumlah penyebut yaitu 6 ( yang menjadi angka
jumlah harta peninggalan /menjadi AM). Oleh karena itu angka 6 di’aul
menjadi 7, sehingga bagian masing-masing ahli waris sbb :
Suami dari 3/6 menjadi 3/7 x jumlah harta
Dua sdr. perempuan sekandung 4/6 menjadi 3/7 x jumlah
harta
Contoh kasus 2.
Seorang
meninggal dengan ahli waris terdiri dari : suami, ibu, dua saudara perempuan
kandung dan seorang saudara laki-laki seibu. Harta peninggalan seharga Rp.
5.400.000,00. Berapa bagian masing-masing ahli waris ?
Langkah 1
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 6
|
1.
2.
3.
|
Suami
Ibu
2 sdr perempuan kandung
|
½ ( tidak ada anak)
1/6 ( tidak ada anak)
2/3( lebih dari satu)
|
½ x 6 =
3
1/6 x 6 =
1
2/3 x 6 = 4
|
4.
|
1 sdr laki-laki seibu
|
1/6 (seorang dan ada ibu)
|
1/6 x 6 = 1
|
Jumlah
|
= 9 bagian
|
Langkah 2
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah Bagian
|
1.
2.
3.
|
Suami
Ibu
2 sdr perempuan kandung
|
3/9 x Rp. 5.400.000,00
1/9 x Rp. 5.400.000,00
4/9 x Rp. 5.400.000,00
|
Rp. 1.800.000,00
Rp. 600.000,00
Rp. 2.400.000,00
|
4.
|
1 sdr laki-laki seibu
|
1/9 x Rp. 5.400.000,00
|
Rp. 600.000,00
|
Jumlah
|
Rp.
5.400.000,00
|
Cara pembagian waris dengan aul dan radd :
1) Kata Radd menurut bahasa Arab berarti kembali / kembalikan.
2) Kata Radd menurut istilah ilmu faraid ialah pengembalian sisa pembagian
harta warisan kepada dzawil furudh selain suami atau istri.
3) Jadi, apabila dalam ahli waris tersebut tidak ada suami atau istri maka
sisa pembagian tersebut ditambahkan (dikembalikan) kepada ahli waris dzawil
furudh dengan cara menjadikan Asal Masalah (AM) dengan jumlah bilangan
pembilangnya (jumlah bagian masing-masing ahli waris). Radd merupakan kebalikan
dari al ‘aul. Misalnya dalam suatu pembagian hak waris, para ashabul furud
telah menerima haknya masing-masing. Akan tetapi harta warisan ternyata masih
tersisa, dan tidak ada kerabat lain yang menjadi ashabah. Jika demikian, maka sisa
harta warisan akan diberikan atau dikembalikan kepada para ashabul furud selain
suami atau istri sesuai bagian masing-masing ahli waris.
Ar radd tidak akan terjadi kecuali terpenuhi tiga syarat berikut :
yaitu (1) adanya ashabul furud, (2) tidak adanya ‘ashabah, dan (3) masih adanya
sisa harta waris. Bila dalam pembagian waris tidak ada tiga syarat tersebut,
maka radd tidak akan terjadi.
Radd dalam arti bahasa adalah mengembalikan. Dalam arti istilah adalah
mengembalikan sisa harta pusaka kepada ahli waris selain suami atau istri.
Contoh : Seseorang meninggal dengan Ahli waris terdiri dari ibu dan seorang
anak perempuan, maka bagiannya adalah
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM= 6
|
1.
2.
|
Ibu
Anak Perempuan
|
1/6
1/2
|
1/6x 6 = 1 1/4 x
jumlah harta
½ x 6 = 3 3/4
x jumlah harta
|
Jumlah
|
= 4 4/4 x jumlah harta
|
Cara Pembagian
Sisa Warisan (radd)
Untuk
melaksanakan pembagian sisa warisan yang diraddkan, hendaklah diperhatikan
terlebih dahulu ahli-ahli waris yang mendapat bagian, yaitu :
a) Apakah ada
di antara ahli waris yang mendapat bagian itu, suami atau istri ?.
Apabila di
antara ahli waris yang mendapatkan bagian ada suami atau istri, maka radd
dilaksanakan dengan cara sebagai berikut ;
Contoh kasus: Seorang meninggal ahli waris terdiri
dari suami dan ibu. Harta peninggalan 60.000,00.
Langkah 1:
No
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 6
|
Jumlah Bagian
|
1.
|
Suami
|
1/2
|
½ x 6
|
3
|
2.
|
Ibu
|
1/3
|
1/3 x 6
|
2
|
Sisa
1
|
||||
Jumlah
|
6
|
Sisanya 1 bagian
langsung diberikan kepada ibu (2 + 1 = 3), karena dia saja yang mendapat bagian
selain suami, sehingga bagaiannya adalah :
Langkah 2 :
No
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 6
|
Jumlah Bagian
|
1.
|
Suami
|
1/2
|
½ x 6
|
3/6 x Rp. 60.000,00 = Rp. 30.000,00
|
2.
|
Ibu
|
1/3
|
1/3 x 6
|
3/6 x Rp. 60.000,00 = Rp. 30.000,00
|
Jumlah
|
= Rp. 60.000,00
|
b) Apakah tidak ada di antara
ahli warisyang mendapat bagian itu suami atau istri ?.
Apabila di antara ahli waris yang mendapat bagian tidak ada suami atau
istri, maka radd dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
Contoh kasus: Seorang meninggal, ahli warisnya dua orang saudara perempuan
kandung dan ibu. Harta peninggalan Rp. 20.000,00.
Langkah 1:
No
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 6
|
Jumlah Bagian
|
1.
|
2 Sdr perempuan kandung
|
2/3
|
2/3 x 6
|
4
|
2.
|
Ibu
|
1/6
|
1/6 x 6
|
1
|
Jumlah
|
5
|
Langkah 2 :
No
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 6
|
Jumlah Bagian
|
1.
|
2 Sdr pr kandung
|
2/3
|
2/3 x 6
|
4/5 x Rp. 20.000,00 = Rp. 16.000,00
|
2.
|
Ibu
|
1/6
|
1/6 x 6
|
1/5 x Rp. 20.000,00 = Rp. 4.000,00
|
Jumlah
|
= Rp. 20.000,00
|
7.
Jelaskan
masalah gharrawain, musyarakah dan akhdariyah ?
Masalah
gharrawain :
1) Gharawain menurut bahasa adalah dua perkara yang sudah jelas, yakni dua
masalah yang sudah jelas dan terkenal di kalangan ulama. Masalah gharawain
hanya terjadi apabila ahli waris yang ditinggalkan pewaris hanya terdiri atas
ibu, bapak dan suami atau istri. Masalah gharawain merupakan hasil pemikiran
Umar ra. Masalah gharawain pada prakteknya memang jarang terjadi. Masalah ini
lebih terkenal dengan sebutan umariyatain, atau garibatain. Disebut demikian
karena sangat jarang terjadi.
2) Mengenai warisan gharawain, para fuqaha berpendapat sebagaimana yang
dikemukakan Umar ra. yaitu memberikan bagian untuk ibu sebesar 1/3 sisa harta peninggalan
setelah dikurangi bagian suami atau istri.
3) Masalah gharawain terjadi jika ahli waris terdiri dari suami atau istri,
ibu dan ayah. Dalam hal ini ibu tidak mendapat 1/3 dari keseluruhan harta
sebagaimana ketentuan QS. An-Nisa ayat 11. tetapi ibu memperoleh 1/3 dari sisa
setelah diambil oleh bagian suami atau istri.
4) Kata gharawain sendiri berarti dua bintang yang cemerlang. Yang
memutuskan masalah ini adalah Umar bin Khattab dan mendapat dukungan mayoritas
sahabat.
Adapun pembagiannya sebagai berikut :
Masalah I : (terdiri dari suami, ayah, dan ibu)
Suami mendapat 1/2
= 3/6
Ibu mendapat 1/3 sisa = 1/3 dari
3/6 = 1/6
Ayah mendapat Ashabah
= 2/6
Jumlah
= 6/6
Masalah II
Isteri mendapat 1/4
= 1/4
Ibu mendapat 1/3 dari 3/4
= 1/4
Ayah mendapat
Ashabah
= 2/4
Jumlah
=
4/4
Masalah
musyarakah :
Musyarakah
adalah bergabungnya ahli waris yang tidak mendapatkan bagian harta, kepada ahli
waris lain yang mendapat bagian harta warisan. Masalah musyarakah terjadi jika
ahli waris terdiri dari suami, ibu atau nenek perempuan, dua orang saudara
seibu atau lebih dan saudara laki-laki kandung seorang atau lebih. Pada kaidah
umum bahwa dua sdr. laki-laki sekandung menjadi ashabah binnafsi. Namun karena
tidak mendapat sisa harta, karena telah dihabiskan ahli waris dzawil furudh,
maka sdr. laki-laki sekandung bergabung dengan sdr. seibu atas nama saudara
seibu dengan mendapatkan bagian 1/3. Menurut pembagian yang bisa maka :
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM= 12
|
1.
2.
3.
4.
|
suami
Ibu/nenek perempuan
1 sdr. seibu
2 sdr. laki-laki sekandung
|
1/2
1/6
1/3
1/3
|
1/2x 12 = 6 = 6/12 x
jumlah harta
1/6 x 12 = 2 = 2/12 x jumlah
harta
1/3 x 12
=4 = 2/12 x jumlah harta
= 2/12 x jumlah harta
|
Jumlah
|
= 12 = 2/12 x jumlah
harta
|
Masalah
musyarakah ini terkenal pula dengan Umariyah karena masalah musyarakah
merupakan putusan (Umar bin Khattab ra.)
Masalah akhdariyah :
1) Masalah akdariyah adalah kelanjutan dari masalah bertemunya kakek dan
saudara dalam satu kelompok ahli waris.
2) Dalam kasus waris akdariyah, semua ahli waris ditambah dengan suami yang
menyebabkan bagian bersama kakek, saudara perempuan, dan ibu semakin kecil.
3) Dalam masalah ini pula patut dipertimbangkan agar kakek tidak mendapatkan
yang kecil.
Masalah akdariyah terjadi jika ahli waris terdiri dari : suami, ibu, kakek
dan seorang saudara perempuan kandung, menurut kaidah umum maka pembagiannya
sebagai berikut :
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM= 6 ‘Aul menjadi 9
|
1.
2.
3.
4.
|
suami
Ibu
Kakek
Sdr. pr sekandung
|
1/2
1/3
1/6
1/2
|
½ x 6 = 3
3/6
x jumlah harta
1/3 x 6 =
2
2/6 x jumlah harta
1/6 x 6 =
1
1/6 x jumlah harta
1/2 x 6 =
3
3/6 x jumlah harta
|
Jumlah
|
=
9
9/9 x jumlah harta
|
Menurut
pembagian di atas, kakek mendapat 1 bagian, sedangkan saudara perempuan
sekandung mendapat 3 bagian. Menurut pembagian akdariyah yaitu pendapat Zaid
bin Tsabit, bagian kakek ( 1 bagian ) dan bagian saudara kandung ( 3 bagian )
dijadikan satu yaitu ( 4 bagian ) dibagi bersama dengan ketentuan laki-laki
mendapat 2 kali bagian perempuan.
Adapun pembagian menurut akdariyah adalah sbb:
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM= 6
|
1.
2.
3.
4.
|
suami
Ibu
Kakek
Sdr. perempuan sekandung
|
1/2
1/3
1/6
1/2
|
½ x 6 = 3
3
x 3 = 9
1/3 x 6 =
2
2 x 3 = 6
1/6 x 6 = 1
8
= 4 4
x 3 = 12
1/2 x 6 =
3
4
|
Jumlah
|
=
9/9
27/27
|
Keterangan : karena angka 4 tidak bisa dibagi 3( yaitu
kakek 2, sdr. perempuan 1 ), maka angka 4 harus dikalikan 3 menjadi 12.
8.
Jelaskan
bagian anak dalam kandungan dan orang hilang ?
Bagian anak dalam kandungan :
Islam mempunyai
hukum yang sangat adil, yang tentunya adalah hukum dari Allah SWT. Anak yang
masih dalam kandungan ibunya juga menjadi pertimbangan para ulama mengenai
bagian warisan bagi anak yang masih dalam kandungan tersebut.
Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki beberapa persyaratan, yaitu :
Anak dalam kandungan yang ditinggal mati ayahnya menurut sebagian besar ulama dianggap sebagai ahli waris, namun hukum kewarisannya memiliki beberapa persyaratan, yaitu :
1) Dapat diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya pada waktu
muwarisnya meninggal dunia.
2) Bayi itu harus dilahirkan dalam keadaan hidup, karena hanya orang yang
hiduplah yang mempunyai keahlian memiliki pusaka. Adapun ciri keadaan hidupnya
adalah ketika bayi itu dilahirkan dari perut ibunya dicirikan dari adanya
jeritan (tangisan) atau gerakan, atau menetek pada payudara ibunya serta
ditandai dengan tanda-tanda kehidupan lainnya.
3) Dalam pembagian masalah ini, kita harus membagi harta pusaka secara
bertahap, yaitu sebelum bayi lahir diadakan pembagian sementara, sedangkan
pembagian sebenarnya ditangguhkan sampai bayi dilahirkan. Keadaan darurat
semacam ini, memberi motivasi kepada para ahli figh untuk menyusun hukum secara
khusus bagi anak yang ada dalam kandungan, yakni harta pusaka dibagi secara
bertahap, sedapat mungkin berhati-hati demi kemaslahatan anak yang berada dalam
kandungan.
Bagian
orang hilang :
Para ahli
Faraidl memberikan batasan atau arti mafqud ialah orang yang sudah lama pergi
meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui kabar beritanya, tempat
tinggalnya (domisilinya) dan tidak diketahui pula tentang hidup dan matinya.
Pembahasan warisan orang hilang (mafqud) ini termasuk bagian miratsut taqdiri,
artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai dengan cara / jalan perkiraan
seperti waris khuntsa (wadam) dan waris anak dalam kandungan. Dalam masalah
orang hilang (mafqud) ini, Ahmad Azhar Basyir, MA menyatakan bahwa kedudukan
hukum orang hilang atau (mafqud) adalah dipandang (dianggap) hidup dalam
hal-hal yang menyangkut hak-hak orang lain, sehingga dapat diketahui dengan
jelas, mati atau hidupnya atau berdasarkan keputusan hakim tentang mati atau
hidupnya. Akibat dari ketentuan tersebut adalah :
1)
Harta
benda tidak boleh diwaris pada saat hilangnya, sebab mungkin dalam suatu waktu
dapat diketahui ia masih hidup.
2)
Tidak
berhak waris terhadap harta peninggalan kerabatnya yang meninggal dunia setelah
mafqud meninggalkan tempat. Walaupun demikian karena kematian mafqud itu belum
dapat diketahui secara pasti ia masih harus diperhatikan dalam pembagian waris.
Seperti keadaan dalam kandungan.
3)
Bagian
orang yang hilang (mafqud) disisihkan sampai dapat diketahui keadaannya masih
hidup atau telah meninggal dunia atau keputusan hakim menyatakan telah
meninggal dunia.
4)
Cara
pembagian terhadap ahli waris yang ada diperhitungkan dengan perkiraan bahwa
mafqud masih hidup. Misalnya, Ahli waris terdiri dari 2 orang anak perempuan
dan 1 orang anak laki-laki mafqud, maka harta warisan dibagi 4 (empat). Satu
bagian untuk masing-masing anak perempuan dan 2 (dua) bagian disimpan untuk
anak laki-laki mafqud.
9.
Jelaskan
tentang pembagian harta bersama ?
Pembagian
harta bersama :
1)
Sebagai
orang Islam kita harus menjalankan syari’at Islam yang diterangkan dalam
Al-Qur’an dan as-Sunah. Apa yang diperintahkan harus dijalankan, sedangkan yang
dilarang harus ditinggalkan.
2)
Demikian
halnya yang berkaitan dengan pembagian harta warisan bagi yang berhak menerima,
harus dijalankan agar tidak terjadi perselisihan. Karena orang yang tidak
menjalankan perintah Allah SWT ( membagi harta warisan) akan dimasukkan kedalam
neraka. Allah SWT. berfirman :
Dan barangsiapa
yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya;
dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’/4 : 14)
Rasulullah SAW
juga memerintahkan agar kita membagi harta warisan sesuai dengan sabdanya :
“Bagilah harta warisan antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah ( Al
Qur’an)”. (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
10.
Jelaskan hikmah pembagian warisan?
Hikmah pembagian warisan :
1. Pembagian
waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal). Hal ini sesuai dengan
salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara
harta.
2. Mengentaskan
kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.
3. Menjalin
tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar tetap utuh.
4. Merupakan
suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari seseorang kepada orang
lain, karena hakekatnya harta adalah amanah Alloh SWT yang harus dipelihara dan
tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak.
5. Adanya
asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta
kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan
sosial.
6. Melalui
sistem waris dalam lingkup keluarga.
7. Selain
itu harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng
membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.
8. Mewujudkan
kemashlahatan umat islam.
9. Dilihat
dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran, keadilan, dan
kemashlahatan bagi umat manusia.
10. Ketentuan
hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak merintangi
kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam bermasyrakat.
WASIAT
1.
Jelaskan pengertian wasiat ?
Pengertian wasiat :
1) Kata Wasiat menurut bahasa memiliki beberapa arti, yaitu “menjadikan,
menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang
lain”.
2) Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bahwa yang disebutkan dengan
wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f).
Rukun Wasiat :
1) Ada orang
yang berwasiat.
2) Ada yang
menerima wasiat.
3) Sesuatu yang
diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang
lain.
4) Lafaz
(kalimat) wasiat.
Sebanyak-banyaknya
wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidak boleh lebih dari itu kecuali
apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yag berwasiat itu
meninggal.
Syarat-syarat orang yang
dapat diserahi wasiat adalah:
1) Beragama Islam.
2) Sudah baligh.
3) Orang yang berakal sehat.
4) Orang yang merdeka.
5) Amanah (dapat dipercaya).
6) Cakap dalam menjalankan
sebagaimana yang dikehendaki oleh orang yang berwasiat.
Tata Cara Berwasiat :
Di dalam KHI Pasal 195 ayat (1) dinyatakan bahwa
Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis
dihadapan dua oramg saksi, atau dihadapan notaris.
2.
Jelaskan
keterkaitan waris dengan wasiat ?
Keterkaitan waris dengan wasiat :
1) Pengertian Wasiat
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dilaksanakan setelah
orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Misal orang yang menjelang mati
berpesan terhadap orang lain (bukan ahli warisnya), bahwa ia (orang lain) itu
akan mendapat sebagaian harta peninggalannya. Pelaksanaannya setelah yang
berwasiat itu meninggal dunia, sebelum membagikan harta peninggalan kepada ahli
warisnya. Wasiat tidak boleh ditujukan kepada orang yang termasuk ahli waris,
hadits nabi :
عَنْ اَبِى أُمَمَةَ :
سَمِعْتُ ص.م يَقُوْلُ إِنَّ اللهَ قَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِى حَقِّ حَقَّهُ فَلاَ
وَصِيَّةَ لِوَارِثِ (رواه الخمسة إلا النساء)
“Dari Abu Umamah, beliau berkata, saya telah mendengar Nabi bersabda,
“Sesungguhnya Allah SWT telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris, maka tidak
ada hak wasiat”
2) Hukum Wasiat
Wasiat hukumnya sunah, apabila tidak lebih dari sepertiga harta, tetapi
bagi yang masih mempunyai kewajiban yang belum terpenuhi, umpamanya mempunyai
hutang yang belum dibayar, atau zakat yang belum ditunaikan, maka wasiat wasiat
mengenai hal-hal yang demikian hukumnya wajib.
Wasiat hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris, sedangkan kepada
ahli waris tidak syah kecuali apabila direlakan oleh ahli waris yang lainnya
sesudah meninggalnya yang berwasiat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an
bahwa harta warisan dibagikan setelah pelaksaaan wasiat.
“Sesudah dibayar wasiat yang diwasiatkannya.” (QS. An Nisa/4 : 11)
مَا حَقُّ إِمْرِى مُسْلِمٍ لَهُ شَيْئٌ يُرِيْدُ اَنْ
يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ
عِنْدَهُ
“Tidak ada seorang muslim yang mempunyai sesuatu, yang pantas diwasiatkan
sampai dua malam, melainkan hendaknya diwasiatnya tertulis di sisi kepalanya
(HR. Saikhani dan lainnya)
Seyogyanya berwasiat itu dilakukan dan disaksikan sekurang-kurangnya oleh
dua orang saksi yang adil, agar beres dikemudian hari. Wasiat dapat dibatalkan
oleh orang yang berwasiat sebelum ia meninggal dunia.
3) Rukun wasiat dan syarat – syaratnya
Rukun wasiat ada
empat yaitu :
(1) Orang yang berwasiat / Al Musi,
(2) kepadanya mukallaf dan
(3) kehendak sendiri.
(4) Yang
menerima wasiat baik perorangan/ lembaga / Al Musa Lahu ,
syaratnya :
(1) Beragama Islam
(2) Baligh atau dewasa
(3) Berakal sehat
(4) Merdeka atau bukan hamba sahaya
(5) Dapat dipercaya (amanah)
(6) Berkemampuan untuk melaksanakan wasiat
Jika pelaksana (yang menerima wasiat) ditentukan
hendaknya diketahui orangnya, dan ia boleh dimiliki.
Sesuatu yang diwasiatkan / Al Musa bihi, syaratnya hendaknya yang
dapat dipindahkan milik (ganti nama) dari seseorang kepada orang lain, tidak
boleh untuk maksiat, tetapi harus untuk kemaslakatan umum, umpamanya untuk
membangun masjid, madrasah, rumah yatim dan sebagainya.
Lafal / sighat, disyaratkan dengan kalimat yang dapat dimengerti untuk
wasiat.
4) Kadar Wasiat
Kadar besarnya
sesuatu yang diwasiatkan sebesar-besarnya 1/3 dari harta orang yang berwasiat :
إِنَّ اللهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثٍ
اَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً فِى حَسَنَاتِكُمْ
“Sesungguhnya
Allah SWT menganjurkan untuk bersedekah atasmu dengan sepertiga harta (pusaka)
kamu, ketika menjelang wafatmu, sebagai tambahan kebaikanmu,” (HR.Daruqutni dari Muadz bin Jabal)
5) Macam-macam Wasiat
Wasiat itu ada dua macam, yaitu :
Wasiat harta benda; seperti berwasiat harta pusaka.
Wasiat hak kekuasaan, yang akan dijalankan sesudah ia meninggal. Macamnya
ada dua, yaitu
1) Hak
kekuasaan yang diwasiatkan berupa tanggung jawab, yang dapat dilaksanakan orang
lainsecara bebas, tidak mempunyai kedudukan tertentu. Misalnya wasiat untuk
kelanjutan pendidikan anaknya, wasiat membayar hutangnya, wasiat untuk
mengembalikan barang pinjamannya.
2) Hak kekuasaan yang diwasiatkan berupa
tanggung jawab, yang pelaksanaan-nya pada orang tertentu, sesuai kedudukannya
menurut ketentuan syari’at Islam. Seperti berwasiat perwalian nikah anak
perempuan. Karena wali nikah sudah ada ketentuannya, mak berwasiat perwalian
nikah tidak syah. Wasiat harta pusaka ada ketentuannya khusus, yaitu yang
berhak menerima wasiat itu adalah orang yang bukan ahli waris.
6) Wasiat bagi Orang yang tidak Memiliki Ahli Waris
Jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta sedangkan ia tidak
mempunyai seorang pun ahli waris maka seluruh hartanya diserahkan pada Baitul
Mal atau lembaga lain yang sejenis.
3.
Jelaskan
ketentuan wasiat dan hikmahnya ?
Ketentuan
wasiat:
1)
Dalam
menjalani ketentuan wasiat seseorang pada hartanya hanya dapat dipenuhi
maksimal 1/3 total harta yang dimilikinya secara sempurna, setelah dikurangi
berbagai kewajiban-kewajibannya, seperti penunaian hutang, pajak, dan juga
zakatnya.
2)
Rasululloh
bersabda " Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak.
Dan ketika Sa'ad bin Abi Waqash sakit, ia bertanya kepada Nabi saw, Apakah aku boleh berwasiat 2/3 atau 1/2 dari harta yang dimiliki ? Rasululloh menjawab dalam haditsnya yang diriwayatkan Bukhari Muslim
"Tidak, saya bertanya lagi (bagaimana kalau) 1/3 ? Nabi menjawab "ya" 1/3, 1/3 itupun banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli waris dalam keadaan cukup itu lebih baik daripada engkau meninggalkan dalam keadaan papa dan harus meminta-minta kepada orang lain".
Dan ketika Sa'ad bin Abi Waqash sakit, ia bertanya kepada Nabi saw, Apakah aku boleh berwasiat 2/3 atau 1/2 dari harta yang dimiliki ? Rasululloh menjawab dalam haditsnya yang diriwayatkan Bukhari Muslim
"Tidak, saya bertanya lagi (bagaimana kalau) 1/3 ? Nabi menjawab "ya" 1/3, 1/3 itupun banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli waris dalam keadaan cukup itu lebih baik daripada engkau meninggalkan dalam keadaan papa dan harus meminta-minta kepada orang lain".
Dalam pembatasan pada angka 1/3
dimaksudkan untuk melindungi ahli waris dari hak-hak kewarisannya sekaligus
mencegah terjadinya konflik akibat distribusi harta yang tidak merata.
Hikmah wasiat :
1) Pembolehan pemberian wasiat atas harta
menegaskan akan hak pemilik harta yang masih utuh
2) Melakukan amal kebajikan dan amal jariya
3) Jalan keluar untuk mendistribusikan harta
kepada kaum kerabat
4) Pembatasan wasiat sampai 1/3 untuk memberikan
perlindungan kepada ahli waris.
5) Kebaikan yang
dimiliki mayat bertambah, berarti pahalanya bertambah.
6) Membantu
kelanjutan program mayat; sehingga tidak terbengkalai.
7) Sebagai balas
jasa dari mayat terhadap seseorang karena dianggap sebagai tulang punggung si
mayat waktu masih hidup
8) Melegakan
hati orang yang diberikan wasiat, sehingga perasaan yang memungkin-kan
merendahankan hati orang itu terhapus.
9) Menertibkan
dan mendamaikan masyarakat, terutama pada suatu keluarga.
Bolehkah minta fil Word nya ustadz?
BalasHapusHow to win on Lucky Club online casino site - Lucky Club
BalasHapusWhen you land a slot machine bonus code and get to a point that is less than 1/2 odds, you're sure to get the bonus when you are playing on the luckyclub slot machine
Graton Casino Hotel - Mapyro
BalasHapusThe Graton Casino 이천 출장마사지 Hotel is a 2.0-acre 순천 출장마사지 gaming-themed resort that 영주 출장마사지 includes a 210,000 square foot gaming space, 711 gaming 상주 출장샵 tables, over 상주 출장마사지 600 slot machines,